Jakarta (ANTARA News) - Operasi gabungan secara simultan SAR terhadap pesawat terbang AirAsia nomor penerbangan QZ8501 di perairan Selat Karimata, telah memasuki hari ke-10, dengan melibatkan puluhan pesawat terbang sipil-militer, kapal-kapal perang dan kapal sipil, dan bahkan nelayan.

Operasi SAR internasional ini dikoordinasikan Badan SAR Nasional, yang dinilai dunia cukup rapi, efisien, dan cepat bisa menemukan lokasi reruntuhan Airbus A-320-216 dengan 162 jiwa yang dia bawa mengangkasa. Hingga tulisan ini dibuat, 37 jenasah korban telah ditemukan dan diidentifikasi resmi.

Yang menarik, dari sekian banyak unsur armada SAR itu, terdapat satu pesawat terbang amfibi buatan pabrikan Irkut, Rusia, Beriev Be-200, yang dihadirkan sebagai bentuk solidaritas pemerintah Rusia atas musibah pesawat terbang itu. Beriev Be-200 Altair sebetulnya bukan baru kali ini hadir di ruang udara Indonesia, karena pernah hadir pada 2006.

Saat itu, Altair disewa Indonesia senilai 5 juta dolar Amerika Serikat untuk membantu memadamkan kebakaran hutan di Pulau Sumatera. Misi bisa dilaksanakan secara baik, di antaranya berkat penerbangan Beriev Be-200 yang mampu mengangkut 12 meter kubik air atau setara dengan 12 ton yang digelontor langsung di lokasi kebakaran.

Demikianlah, Altair berkali-kali melaksanakan puluhan sortie penerbangan pemadaman hutannya saat itu. Kedua mesin Progress D-436TP turbofan atau mesin Rolls-Royce BR17 (untuk pasar Barat sehingga namanya menjadi Beriev Be-200RR) bisa mengangkat beban maksimal 37.900 kilogram, yang sama dengan mengangkut 44 orang pengikut. Bahkan untuk varian Beriev Be-210, bisa sampai 72 orang.

Saat diparkir di landas parkir Pangkalan Udara TNI AU Iskandar, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, sebagai pangkalan aju operasi udara SAR atas AirAsia QZ8501 itu, Beriev Be-200 cukup menyita perhatian masyarakat.

Sosoknya cukup besar dengan rentang sayap ayung sekitar 32 meter dan ketinggian ekor tegak 8,9 meter serta panjang keseluruhan fuselage 32,8 meter.

Menurut data dari Irkut sebagai pabrikan, kecepatan maksimal yang dinyatakan adalah 700 kilometer perjam dengan kecepatan ekonomis 550 kilometer perjam. Jarak Jakarta-Semarang, pada kecepatan ini, bisa dicapai dalam waktu sekitar satu jam saja. Ketinggian terbang maksimalnya diklaim sekitar 26.246 kaki dari permukaan laut (8.000 meter).

Yang cukup menarik dari pesawat terbang amfibi ini adalah kecepatan stall-nya (kecepatan sangat minimal sebelum dia gagal mempertahankan ketinggian alias “melorot” jatuh dan terhempas), cuma 157 kilometer perjam. Dengan tangki penuh, dia bisa terbang pada radius 3.300 kilometer alias sekitar enam jam terbang.

Karakternya yang demikian bisa dianggap pas untuk keperluan SAR maritim mengingat operasi SAR mensyaratkan penerbangan berjam-jam pada ketinggian rendah (bahkan bisa di bawah 100 meter dari permukaan laut) untuk memastikan pencarian secara visual.

Sebagai gambaran, penerbangan SAR Beriev Be-200 di lokasi prioritas pencarian AirAsia nomor penerbangan QZ8501 menghasilkan temuan 25 obyek mengapung, pada Selasa (6/1).

Secara fisik, pembeda utama pesawat terbang amfibi dengan rekan-rekannya pesawat terbang biasa adalah rancangan “perut”-nya yang menyerupai lunas kapal. Bagaimanapun, dia harus bisa mendarat dan lepas-landas dari perairan agar bisa diklasifikasikan sebagai pesawat terbang amfibi.

Ini juga yang terjadi pada Beriev Be-200 Altair —digadang-gadang seharga 40 juta dolar Amerika Serikat perunit— dengan kedua mesin yang digendong di punggung fuselage-nya. Begitu dia menemukan tempat yang memadai di sungai, danau, atau laut untuk mendarat maka tidak diperlukan waktu lama untuk dia kembali lepas-landas.

Dengan luas perairan sekitar 5,8 juta kilometer persegi, Indonesia belum memiliki secara cukup wahana udara amfibi seperti ini.

Padahal kegunaanya bisa sangat banyak, di antaranya transporter komoditas perdagangan dari pedalaman ke wilayah pesisir dan sebaliknya, menembus isolasi wilayah pesisir dan pedalamanan yang tidak memiliki bandar udara padahal kaya sungai dan danau.

Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015