Jakarta (ANTARA) - Mengaku lega, tidak menyangka, tetapi bahagia dirasakan Ilham Fajrian, pria asal Jakarta yang menjadi salah satu korban dari tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Myanmar.
"Kayak enggak nyangka, tapi senang. Tapi masih enggak nyangka masih bisa pulang ke Indonesia," kata Ilham saat dihubungi ANTARA, Kamis (20/3).
Ilham mengaku pertama kali mendapat informasi lowongan untuk bekerja di luar negeri dari media sosial Facebook. Lowongan itu menawarkan pekerjaan untuk bekerja sebagai pelayan administrasi di sebuah restoran di Maesot, Thailand.
Mengaku sulit mencari pekerjaan di dalam negeri, Ilham akhirnya tergiur dengan tawaran dalam lowongan yang menjanjikan gaji besar, fasilitas yang memadai, dan tempat kerja yang nyaman di Thailand tersebut.
Setelah mencoba mendaftarkan diri dan menjalin kontak dengan staf administrasi untuk lowongan itu, Ilham diminta untuk menghubungi hingga empat staf administrasi lainnya via Telegram.
"Setelah saya berhubungan dengan empat admin itu, saya diberikan seperti tawaran gaji besar, fasilitas memadai, tempat kerja enak, lingkungan kerja yang sehat. Pokoknya semua hal yang dijelaskan itu positif semua sehingga saya tergiur datang ke Thailand untuk bekerja secara ilegal," menyampaikan kilas balik pengalamannya itu.
Ilham menyadari tawaran pekerjaan yang dijanjikan itu adalah untuk bekerja di luar negeri secara ilegal. Namun, karena tawaran tersebut terlalu menggiurkan, dia akhirnya sepakat menerima tawaran itu.
Setelah sepakat dengan agen yang akan mengirimnya bekerja di Thailand, Ilham bersama 11 orang lain yang berasal dari berbagai daerah, termasuk sepupunya, akhirnya bertemu dan berangkat bersama dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, pada 13 Agustus 2024 menuju Bangkok.
Setelah diterbangkan menuju Bangkok, Ilham bersama teman-temannya diajak untuk melalui perjalanan darat menggunakan hingga empat mobil selama 6-7 jam dari Bangkok menuju Maesot.
Sesampainya di Maesot, Ilham mulai mengaku bingung karena di daerah tersebut tidak terdapat gedung-gedung tinggi, dan sebaliknya seperti daerah pelosok, tidak ramai, tidak seperti daerah yang hidup dengan sebagian besar daerahnya adalah wilayah hutan.
"Di situ kami masih mencoba berpikir positif, mungkin karena ini kotanya belum terlalu berkembang, belum terlalu maju, makanya mereka butuh pekerja migran dari luar negeri," kata Ilham.
Tapi lama-kelamaan setelah kita, kata dia, rute perjalanannya agak aneh soalnya di saat sudah sampai di Maesot berhenti di sebuah parkiran supermarket. Setelah itu, mereka berganti mobil, pindah mobil dari satu mobil ke mobil yang lain.
"Setelah pindah mobil kami memasuki wilayah perumahan," kata Ilham.
Baca juga: Kemensos dampingi 569 pekerja migran korban TPPO di Myanmar
Mereka juga sempat disembunyikan di sebuah kandang sapi.
"Jadi, mobil itu masuk kandang sapi, mereka tutup gerbang. Setelah itu, supir dan temannya itu yang duduk di depan. Mereka menelpon orang selama 2 atau 3 menit. Setelah itu mereka masuk kembali masuk ke mobil lagi," kata ilham lebih lanjut.
Setelah itu, Ilham bersama teman-temannya dibawa ke kebun jeruk yang terdapat juga sungai-sungai kecil di sekitarnya. Setelah sampai di kebun itu, mereka diseberangkan dengan menggunakan sampan kecil untuk menyeberangi sungai hingga akhirnya mereka melihat banyak tentara.
"Tapi, kami belum tahu kalau itu tentara pemberontak atau tentara apa. Yang jelas ada banyak tentara membawa senjata laras panjang. Ada 10 atau 15 tentara seperti mengawal dan memperhatikan kami menyeberangi sungai itu. Setelah kami nyeberang, kami dibawa masuk lagi ke dalam mobil," kata Ilham.
Setelah memasuki beberapa mobil baru yang berbeda, mereka melanjutkan perjalanan dengan diikuti oleh satu mobil yang membawa tentara, melalui daerah lembah dan pegunungan hingga tiba di perusahaan tempat mereka akan diperkerjakan.
Sesampai di perusahaan, Ilham dan teman-temannya diperiksa dan alat komunikasi mereka disita.
"Tapi, ada beberapa teman yang menyembunyikan ponselnya. Sampai sekarang pun mereka masih bawa ponselnya karena mereka menyembunyikan ponsel. Tapi untuk saya pribadi, ponsel saya dirampas Dan tidak dikembalikan sampai sekarang," kata Ilham lebih lanjut.
Setelah melalui pemeriksaan, Ilham dan teman-temannya dipaksa menandatangani kontrak untuk bekerja selama 14 jam per hari dalam kurun waktu 1 tahun 6 bulan dengan target pendapatan bagi perusahaan hingga 200.000 dolar AS (sekitar Rp3,3 miliar).
"Jika tidak mencapai 200.000 AS dalam 1 tahun 6 bulan, maka kontraknya akan diulang sampai kami bisa menyentuh angka 200.000 dolar AS," kata Ilham.
Ilham mengaku sempat menolak perjanjian kontrak tersebut. Tapi, pimpinan perusahaan itu lantas mengancam akan memperlakukan mereka dengan tidak baik jika mereka tidak menandatangani kontrak.
Dalam kondisi terpaksa, Ilham dan teman-temannya akhirnya menandatangani kontrak itu.
Setelah bekerja, Ilham dan teman-temannya ternyata dipaksa untuk menipu orang-orang dari negara-negara seperti Rusia, Turki, dan lainnya dengan menggunakan sistem love scamming.
"Jadi, kami membuat orang-orang ini jatuh cinta kepada model yang kami pekerjakan. Dan setelah itu, kami menguras uang mereka, menipu mereka dengan tautan online yang kami berikan," katanya.
Ilham dan teman-temannya juga dipaksa bekerja lebih dari 14 jam per hari dan mendapat siksaan dipukul, disetrum, hingga dimasukkan ke dalam "penjara hitam", sebuah ruangan gelap, dan tidak diberi makan sampai berhari-hari jika tidak mencapai target performa yang diminta perusahaan.
"Setelah keluar dari penjara itu, kami tidak istirahat, kami harus bekerja lagi. Bekerja sampai jam pulang kerja, setelah itu baru kami bisa istirahat," kata Ilham.
Sementara itu, di sisi lain, setelah mendapat kabar putranya ditipu hingga disiksa lewat pesan yang Ilham kirimkan melalui handphone temannya secara sembunyi-sembunyi satu pekan setelah bekerja, ayah Ilham, Rudianto, lantas melaporkan kasus tersebut ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Bangkok, Thailand.
"Nah, untuk hubungi KBRI saya pun meminta anak saya untuk share lokasi. Dapatlah hari itu, malam itu kami share lokasi. Terus aku pun belum tahu mereka berada di mana. Dia menyebutkan hanya di perbatasan Thailand, entah itu di Kamboja atau di Vietnam," kata Rudianto.
Setelah mengirim lokasi itu ke KBRI Thailand, barulah ada dapat jawaban bahwa posisinya ada di daerah Myawaddy, Myanmar, yang situasinya rumit untuk bisa mengevakuasi mereka karena di daerah konflik.
"Jangankan pihak KBRI, pemerintah resmi Myanmar pun tidak bisa masuk ke sana," kata Rudianto, mengutip keterangan yang disampaikan KBRI terkait upaya pemerintah untuk mengeluarkan para korban TPPO dari daerah tersebut.
Rudianto amat bahagia bahwa putranya telah kembali ke Tanah Air bersama 568 WNI lainnya.
Selain itu, dia memberi informasi bahwa terdapat lima WNI lain yang masih berada di Myawaddy, Myanmar. Dia mendapat laporan itu dari sejumlah WNI yang berhasil dipulangkan serta dari keluarga kelima WNI yang belum bisa dievakuasi karena disembunyikan oleh perusahaan tempat kelima WNI itu bekerja.
Dia berharap kelima orang tersebut dapat dievakuasi agar bisa kembali bersama keluarga.
Rudianto pun menyampaikan apresiasinya atas bantuan pemerintah dalam upaya pemulangan putranya serta pendampingan dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).
Baca juga: Pemerintah pulangkan ribuan WNI korban TPPO bermodus lowongan kerja
Upaya pemerintah
Direktur Pelindungan WNI dan BHI Kemlu RI Judha Nugraha dalam keterangannya pada 6 Maret menyatakan bahwa untuk memulangkan para WNI tersebut, Kemlu melakukan koordinasi intensif dengan otoritas Thailand yang menjadi negara transit sebelum pemulangan mereka.
Koordinasi juga dilakukan Kemlu dengan otoritas Myanmar untuk mengeluarkan para WNI dari Myawaddy, Myanmar.
Setelah melalui berbagai upaya, pemerintah akhirnya berhasil mengeluarkan total 569 WNI bermasalah online scam dari Myawaddy, Myanmar, dan memulangkan mereka dalam dua gelombang pada 18 dan 19 Maret 2025 melalui Bandara Soekarno-Hatta.
Wakil Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Christina Aryani dalam keterangannya kepada ANTARA pada Rabu (19/3) menyatakan bahwa upaya pemulangan tersebut merupakan bentuk kolaborasi lintas kementerian di mana Kementerian Luar Negeri memang memimpin upaya tersebut.
Christina mengaku proses pembebasan para korban tidak mudah karena lokasi mereka berada di daerah konflik, dengan adanya ancaman terhadap tim dari KBRI Thailand dan berbagai tantangan lainnya.
Kementerian P2MI sesuai tupoksinya membantu upaya tersebut dengan dukungan penanganan saat para WNI tersebut tiba di Tanah Air, mulai dari pengurusan keimigrasian, pendaftaran IMEI, koordinasi pengantaran ke Wisma Haji hingga konsumsi selama berada di sana guna proses asesmen dan pendataan sebelum dipulangkan ke daerah asal.
Asemen melibatkan institusi Bareskrim, Interpol dan BAIS TNI untuk melihat lebih jauh apakah telah terjadi TPPO atau modus penipuan lainnya dalam keberangkatan para WNI tersebut hingga berakhir di Myanmar dan terjebak sindikat online scam.
"Kementerian P2MI juga selalu mengangkat isu ini dan memberikan sosialisasi lewat berbagai kanal dan media agar masyarakat mewaspadai iklan rekrutmen ilegal yang masih banyak ditemukan di berbagai media sosial," katanya.
Masyarakat juga diimbau untuk melaporkan ke Direktorat Siber Kementerian P2MI jika menemukan iklan serupa untuk selanjutnya dilakukan penindakan takedown dengan berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Digital.
Sementara itu, Menteri P2MI Abdul Kadir Karding dalam keterangannya pada Selasa (18/3) juga mencatat perlunya perbaikan tata kelola perekrutan yang lebih baik sehingga bisa mencegah dan memberikan perlindungan lebih baik terhadap warga negara Indonesia yang ingin bekerja di luar negeri.
"Menjadi catatan kami untuk terus memperbaiki tata kelola proses perekrutan calon pekerja migran Indonesia ke luar negeri," katanya.
Dia juga menambahkan bahwa bersama kementerian terkait dan kepolisian, KP2MI akan mengusut jaringan pekerja migran ilegal yang membawa para korban bekerja di Myanmar.
Dalam pesannya, Karding juga terus mengingatkan masyarakat yang ingin bekerja di luar negeri untuk tidak mudah tergiur iming-iming gaji besar bekerja di luar negeri dengan bekerja melalui jalur resmi, mendaftarkan diri ke perusahaan penempatan resmi yang diatur oleh pemerintah sehingga mendapatkan jaminan perlindungan lebih baik.
Baca juga: Kementerian P2MI bantu pemulangan 554 korban TPPO di Myanmar
Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025