Krisis air dan banjir di berbagai wilayah di Indonesia tidak boleh dipandang sebagai dua masalah terpisah

Jakarta (ANTARA) - Awal Maret 2025, beberapa wilayah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) terendam banjir.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, sebagian besar pemicu banjir adalah alih fungsi lahan di sepanjang kawasan hingga ke hulu. Hutan yang dulu berperan sebagai penyangga air, kini tergerus digantikan oleh permukiman yang masif. Hal tersebut mempercepat limpasan air permukaan dan memperbesar risiko banjir di hilir tatkala intensitas hujan meningkat.

Tahun ini, Hari Hutan Sedunia yang diperingati setiap 21 Maret, mengusung tema "Hutan dan Pangan", membawa pesan terkait peran hutan dalam mendukung ketahanan pangan.

Namun, di tengah perdebatan terkait upaya meningkatkan produksi pangan, aspek yang sering terpinggirkan adalah bagaimana hilangnya hutan juga mengancam keberlanjutan pasokan air bersih.

Kota-kota besar semakin rentan terhadap krisis air karena sistem alam yang menopang kehidupan mulai kehilangan keseimbangannya. Tatkala musim hujan tiba, perkotaan kerap terendam banjir akibat limpasan air yang tidak tertampung, sedangkan di musim kemarau mengalami krisis air bersih karena sumber daya air yang terus menyusut.

Ian R. Calder dalam risetnya Forests and Water—Ensuring Forest Benefits Outweigh Water Costs menekankan bahwa program terkait hutan umumnya fokus pada manfaat lingkungan, seperti konservasi keanekaragaman hayati dan penyerapan karbon. Sementara itu, dampaknya terhadap sumber daya air belum mendapat cukup atensi.

Ketika hutan dibabat untuk keuntungan ekonomi jangka pendek yang tidak seberapa, biaya ekologis yang harus dibayar masyarakat di kemudian hari akan sangat besar. Tanpa perencanaan yang matang, konversi lahan akan mengganggu keseimbangan hidrologi, meningkatkan erosi, mengurangi kapasitas infiltrasi tanah, dan memperparah kelangkaan air, terutama di kawasan perkotaan yang bergantung pada sumber air dari daerah hulu.

Fenomena tersebut sangat relevan dengan kondisi kota-kota kita saat ini, khususnya Jakarta. Sebagai kota dengan pertumbuhan penduduk yang pesat, Jakarta menghadapi masalah besar dalam penyediaan air bersih.

Jakarta adalah kota terpadat di Indonesia. Di setiap Lebaran, Jakarta kedatangan pendatang baru dari berbagai wilayah. Pasca-lebaran 2024, misalnya, 1.038 orang pendatang baru tiba di Jakarta.

Margaret M. Carreiro dalam Introduction: The Growth of Cities and Urban Forestry mencatat bahwa dalam satu abad terakhir, populasi global telah beralih dari mayoritas penduduk yang tinggal di perdesaan menjadi lebih dari separuhnya bermukim di perkotaan. Tren ini terus berlanjut, terutama di negara berkembang.

Indonesia juga akan menyaksikan peningkatan urbanisasi yang sangat besar dalam beberapa dekade ke depan. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, permintaan air juga meningkat, sementara ketersediaannya semakin terancam akibat degradasi lingkungan.

Seberapa besar kebutuhannya? Sebagai contoh, 10 tahun lalu saja (2015) Perusahaan Umum Daerah Air Minum Jaya (PAM Jaya) memperkirakan kebutuhan air bersih untuk wilayah Jakarta mencapai 26.100 liter/detik. Jumlah tersebut untuk memenuhi standar kelayakan kebutuhan air bersih sebesar 49,6 liter/detik/kapita.

Hilangnya hutan di daerah hulu bukan hanya mengakibatkan banjir, melainkan juga mengurangi pasokan air ke sungai dan waduk yang menjadi sumber utama air baku. Studi yang dilakukan Núñez, dkk. (2006) berjudul Forests and Water: The Value of Native Temperate Forests in Supplying Water for Human Consumption menyoroti pentingnya ekosistem hutan dalam mempertahankan ketersediaan air bersih.

Mereka menunjukkan bahwa hutan bukan hanya sekadar kawasan hijau yang indah, tetapi juga punya nilai ekonomi nyata dalam menjaga suplai air minum bagi kota-kota besar.

Dalam konteks di Indonesia, hilangnya hutan di hulu berimplikasi langsung pada ketersediaan air bersih bagi jutaan warga.

Di tengah situasi sulit tersebut, beberapa langkah konkret telah dilakukan untuk meningkatkan akses air bersih. Misalnya, PAM Jaya di Jakarta berhasil memperluas cakupan layanan air perpipaan hingga 70,29 persen sepanjang 2024. Ini merupakan sebuah pencapaian penting mengingat kompleksitas tantangan infrastruktur di kota tersebut.

Selain itu, rekor pemasangan 46 ribu sambungan baru oleh BUMD milik Pemprov DKI Jakarta yang berdiri sejak 101 tahun lalu tersebut menunjukkan adanya upaya serius dalam mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap air tanah. Tidak dapat dipungkiri, selama ini air tanah menjadi salah satu penyebab utama penurunan muka tanah di Jakarta.

Namun, solusi di hilir saja tidak cukup jika ekosistem di hulu terus mengalami degradasi. Program konservasi harus menjadi bagian dari strategi jangka panjang dalam pengelolaan air perkotaan. Tanpa perlindungan hutan di daerah tangkapan air, upaya perluasan layanan air bersih hanya akan menjadi solusi sementara yang tidak mengatasi akar permasalahan.

Jakarta bukan satu-satunya kota yang menghadapi dilema ini. Banyak kota besar di dunia telah mulai menerapkan pendekatan berbasis alam (nature-based solutions) untuk mengatasi krisis air, termasuk restorasi hutan, pembangunan waduk alami, serta integrasi sistem hijau dan biru dalam perencanaan kota.

Hari Hutan Sedunia perlu menjadi momentum untuk merefleksikan kembali hubungan antara hutan dan air, serta bagaimana kebijakan lingkungan berkontribusi pada kelangsungan hidup di kota. Keberhasilan dalam menjaga hutan bukan hanya soal konservasi keanekaragaman hayati, melainkan juga tentang melindungi sumber daya air yang menjadi tulang punggung kehidupan perkotaan.

Krisis air dan banjir di berbagai wilayah di Indonesia tidak boleh dipandang sebagai dua masalah terpisah. Kita perlu mendudukkannya sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Jika solusi jangka panjang ingin dicapai, maka kebijakan perlindungan hutan dan pengelolaan air harus berjalan beriringan.

Dalam beberapa dekade ke depan, ketersediaan air bersih akan menjadi salah satu tantangan terbesar bagi kota-kota di dunia, termasuk kota-kota kita. Keputusan yang diambil hari ini akan menentukan apakah kota-kota di Indonesia bisa bertahan menghadapi perubahan iklim dan tekanan populasi, atau justru semakin rentan menjadi langganan krisis berulang.

Seperti yang dikatakan oleh ekonom John Kenneth Galbraith, kualitas hidup di sebuah masyarakat maju, kini ditentukan oleh kualitas kehidupan di kotanya. Dan untuk kota-kota di Indonesia, kualitas itu tidak bisa dipisahkan dari bagaimana sumber daya airnya dikelola.

*) Ismail Khozen adalah Manajer Pratama Institute for Fiscal Policy and Governance Studies (Pratama Indomitra) dan Dosen Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia

Copyright © ANTARA 2025