Jakarta (ANTARA) - Meski cikal bakalnya sudah ada sejak zaman purba, tuberkulosis (TB) masih bertahan sebagai salah satu pembunuh yang sangat signifikan di era modern.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa pada 2023, 1,25 juta orang meninggal karena TB, dan 161 ribu di antaranya adalah orang dengan Human Immunodeficiency Virus (ODHIV).
TB menjadi pembunuh paling mematikan bagi ODHIV, serta penyebab terbesar kematian yang kaitannya dengan resistensi antimikroba. Meski TB bisa dicegah dan diobati, ada 10,8 juta warga dunia sakit karena itu. Sekitar 6 juta penderitanya laki-laki, 3,6 juta perempuan, dan 1,3 juta penderitanya anak-anak.
Tak heran, mengakhiri TB menjadi salah satu Target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang harus dicapai pada 2030, termasuk di Indonesia. Ini masuk sebagai target bidang kesehatan dalam Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC/quick win) Presiden Prabowo Subianto.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Ina Agustina Isturini mengatakan, data per awal Maret 2025 menunjukkan bahwa sebanyak 889 ribu atau 81 persen kasus telah terdeteksi dari target 1.092.000 penemuan kasus TB. Namun, meski penemuan kasus dan pengobatan terus naik dari tahun ke tahun, masih terbentang jalan panjang untuk eliminasi.
Pada 2025, targetnya adalah menurunkan insidensi sebesar 50 persen, sejalan dengan target global, sehingga menjadi 163 kasus per 100 ribu penduduk. Sedangkan saat ini, insidensi di Tanah Air adalah 388 per 100 ribu penduduk. Kemudian, diharapkan cakupan perawatan sebesar 90 persen, dan tingkat kesuksesan pengobatan 90 persen.
Baca juga: WHO Pasifik Barat serukan tindakan untuk akhiri tuberkulosis pada 2030
Baca juga: China luncurkan uji klinis vaksin tuberkulosis domestik
Mencegah lebih baik daripada mengobati
Untuk melawan penyakit purba itu, ada empat upaya besar yang dilakukan di Indonesia, yakni penemuan kasus, pencegahan, promosi kesehatan dan keterlibatan multisektor, serta pengobatan.
Ina menyebutkan dalam penemuan kasus, salah satunya adalah dengan menggunakan x-ray dalam penemuan kasus secara aktif (active case finding/ACF), dan upaya penemuan kasus ini juga diintegrasikan dengan program quick win lainnya, yakni Cek Kesehatan Gratis (CKG). Kemudian pemberian insentif penemuan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), serta mengembangkan rumah sakit khusus pengembangan TB Resisten Obat.
Soal penemuan kasus, Pemerintah juga mengadakan skrining di tempat-tempat yang risiko penyebaran TB-nya tinggi, contohnya lembaga pemasyarakatan (lapas). Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengatakan, risiko penyebaran di lapas 10 kali lebih tinggi, mengingat tempat ini menampung banyak orang, dan terkadang melebihi kapasitas.
Berdasarkan hasil identifikasi provinsi, katanya, yang mencapai cakupan penanganan TB terbaik adalah Provinsi Banten, termasuk Kota Tangerang. Menurut laporan yang diterima, sekitar 80 persen warga binaan Lapas Perempuan Kelas IIA Tangerang mengonsumsi obat pencegahan TB.
“Diharapkan berbagai program yang ada di Tangerang ini bisa direplikasi ke daerah lain, sehingga proses identifikasi TBC bisa optimal,” kata Dante.
Adapun untuk pencegahan TB, sejumlah upayanya yakni penyediaan obat bagi orang yang terdiagnosis TB laten, riset vaksin TB, pelatihan terkait infeksi TB, kebijakan pemberian Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) bagi kontak serumah yang negatif TB, serta integrasi ACF dengan pemberian TPT.
Bicara soal riset vaksin, Indonesia secara aktif melakukan riset vaksin di kancah global. Setelah melewati lebih dari satu abad sejak TB ditemukan pada 1882, akhirnya ada vaksin yang berpotensi melindungi kelompok dewasa dari paparan bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menjadi akar dari tuberkulosis.
Direktur Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan Lucia Rizka Andalusia menyebutkan bahwa saat ini terdapat berbagai macam kandidat vaksin TB yang sedang masuk dalam tahap uji klinik, baik tahap global maupun nasional, di mana Indonesia menjadi salah satu bagian penting dalam pengembangan vaksin, dengan mengikuti program uji klinik "Vaksin TB M72".
Saat ini, sebanyak 1.800 orang di Indonesia telah mengambil bagian dalam uji klinik ini, di mana Indonesia menargetkan 2.000 orang untuk berpartisipasi dalam uji klinik "Vaksin TB M72".
Adapun Peneliti Nasional Vaksin TB Prof. DR. dr. Erlina Burhan, Sp.P(K), mengungkapkan kemajuan vaksin Tuberkulosis (TB) M72/AS01E sebagai vaksin yang tengah diteliti Indonesia untuk dapat memproteksi kelompok remaja dan dewasa dari penyakit TB, sebagai tindak lanjut karena vaksin BCG terbukti hanya dapat memproteksi kelompok usia bayi.
Erlina menyebutkan saat ini Indonesia sedang memasuki tahapan uji klinis fase tiga untuk vaksin TB M72 setelah sebelumnya berhasil melewati proses uji klinis fase 2B yang hasilnya menjanjikan dengan nilai efikasi vaksin sebesar 50 persen.
Penelitian vaksin TB M72 oleh Indonesia merupakan salah satu penelitian yang menjadi bagian dari penelitian global yang diikuti empat negara lainnya yakni Afrika Selatan, Kenya, Zambia, dan Malawi.
Indonesia mulai masuk dalam penelitian vaksin TB M72/AS01E sejak akhir 2022, kemudian pada 2023 dilakukan finalisasi protokol dan pengajuan lokasi penelitian, dan ada sebanyak lima lokasi penelitian, antara lain Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan.
Dalam prosesnya, para peserta yang mengikuti penelitian untuk uji klinis mendapatkan dua kali suntikan dengan jarak pemberian dosis 1 ke dosis 2 sebanyak 1 bulan. Para penerima vaksin juga telah dijelaskan tentang kemungkinan-kemungkinan hal yang akan terjadi setelah vaksin diberikan agar dapat mengantisipasi Kondisi Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).
Selama proses uji klinis, ditemukan beberapa pasien yang mengikuti penelitian mengalami KIPI ringan dan bisa diselesaikan di rumah seperti demam yang bisa diatasi dengan parasetamol hingga nyeri di lokasi tempat suntikan yang bisa diatasi dengan kompres es.
Kemenkes juga berupaya memberdayakan publik dalam pelaporan dan pengobatan TB. Hal ini karena salah satu isu dalam penemuan kasus adalah banyak pasien tapi sedikitn laporan, bahkan ada laporan yang tertunda sehingga mempersulit pengobatan.
Oleh karena itu, Kemenkes juga bekerja sama dengan salah satunya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) untuk mempersiapkan implementasi Desa Siaga TB, serta mengalokasikan dana desa untuk penanggulangan penyakit itu.
Tak lupa, Kemenkes juga menggiatkan edukasi untuk membangun kesadaran publik dan menghilangkan stigma, seperti dengan memberitakan isu TB terkini, menyoroti pentingnya perbaikan layanan kesehatan dan perlindungan sosial bagi orang dengan TB, serta advokasi kebijakan.
Selain obat-obatan, vaksin, dan partisipasi publik, pemenuhan nutrisi menjadi hal yang disorot dalam upaya pencegahan melawan TB. Menurut Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar, masalah gizi seperti malnutrisi dapat menurunkan kondisi imun seseorang, sehingga rentan terinfeksi TB, bahkan berisiko membangunkan TB yang dorman atau tidak aktif.
Contoh saja, sebanyak 80 persen anak Indonesia memiliki masalah gizi, di mana 21,6 persen mengalami stunting, 40 persen mengalami kekurangan mikronutrien seperti zat besi dan vitamin, dan 20 persen lainnya kelebihan nutrisi, sehingga menyebabkan penyakit metabolisme yang dapat memicu masalah imunitas.
Adapun pemerintah juga mengadakan Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai upaya pemenuhan gizi guna meningkatkan imun tubuh, dan BPOM membantu dalam hal pengawasannya sebagai bagian dari pencegahan TB.
Baca juga: BPOM gencarkan tiga inisiatif dukung eliminasi TB nasional
Urgensi akan obat baru
Salah satu masalah dalam eliminasi tuberkulosis adalah adanya TB sensitif obat (TBSO) dan TB resisten obat (TBRO). TB resisten obat, di mana kuman kebal terhadap pengobatan, disebabkan oleh sejumlah hal, antara lain diagnosis tidak tepat, pengobatan tidak adekuat, tidak mematuhi anjuran nakes, dan tidak teratur mengonsumsi obat.
Data Kemenkes menunjukkan bahwa pada 2024, keberhasilan pengobatan TBSO pada 2024 sebesar 84 persen, sementara pada TBRO sebesar 58 persen. Padahal, target keberhasilannya sebesar 90 persen untuk TBSO dan dan 80 persen untuk TBRO.
Menurut Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar, resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) semacam ini memicu urgensi penemuan obat-obatan baru.
Dia mengatakan bahwa saat ini, sudah ada beberapa jenis obat yang diharapkan bisa menangani masalah ini secara lebih baik, tetapi efikasinya masih perlu diuji.
Pihaknya juga berkomitmen untuk memastikan ketersediaan antibiotik guna penanganan tuberkulosis, agar morbiditas karena penyakit itu dapat dikurangi bahkan dieliminasi.
Masih ada banyak tahapan yang perlu dilalui sebelum kita bisa bernafas lega karena bebas dari TB. Namun, upaya yang konsisten, kolaboratif, dan masif dapat mempercepat upaya umat manusia untuk membuat penyakit itu punah.
Baca juga: Peneliti ungkap kemajuan vaksin TB M72 siap proteksi remaja dan dewasa
Baca juga: Kemenkes siapkan Desa Siaga TBC untuk percepat target eliminasi
Baca juga: Indonesia aktif lakukan riset vaksin tuberkulosis di kancah global
Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025