Sebagai pemangku kebijakan, seharusnya pencegahan penyakit ginjal perlu dimaksimalkan, mulai dari deteksi dini hingga penanganan

Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis penyakit dalam Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso I Wayan Nariata menyebutkan, kurangnya kesadaran masyarakat serta minimnya optimalisasi regulasi memicu banyaknya kasus sakit ginjal di Indonesia.

Wayan mengatakan dalam siaran Kementerian Kesehatan di Jakarta Selasa menyebutkan, dalam rangka Hari Ginjal Sedunia, bahwa masyarakat kurang mengetahui tentang penyakit ginjal, cara mendeteksinya, gejalanya, sehingga mereka datang berobat ketika penyakitnya sudah parah.

"Yang kedua dari sisi kita sebagai provider pelayanan kesehatan semakin hari justru kita harus dituntut semakin baik dalam memberikan edukasi, kemudian juga bagi mereka yang sudah terkena kita lebih baik dalam memberikan pelayanan, dan juga bagaimana kita mencegah untuk jangka panjang," ujarnya.

Adapun dari sisi pemerintah, katanya, sebagai pemangku kebijakan, seharusnya pencegahan penyakit ginjal perlu dimaksimalkan, mulai dari deteksi dini hingga penanganan.

Dia menjelaskan bahwa terdapat dua jenis faktor pada penyakit gagal ginjal, yakni yang bisa modifikasi dan yang tidak bisa dimodifikasi. Adapun yang tidak dapat dimodifikasi, dia mencontohkan usia serta genetik.

"Tetapi di satu sisi ada lagi faktor-faktor yang bisa kita modifikasi. Ini misalnya yang pertama tekanan darah, hipertensi. Kita sesuaikan kenapa ya, nanti misalnya diabetes, gula darah itu bisa kita modifikasi," katanya.

Pola hidup seperti merokok, pemakaian obat-obatan atau suplemen, makanan, minuman yang potensi untuk mengganggu kesehatan ginjal, katanya, bisa dimodifikasi.

Terkait gejala, katanya, biasanya penyakit ginjal baru bergejala ketika sudah parah, namun ada beberapa yang dapat dikenali lebih awal, seperti keluhan pembengkakan, badan lemas dan pusing. Kemudian, volume urine yang berkurang, misalnya sebesar 400-500cc.

"Pada stadium lanjut, mual-mual, muntah-muntah. Kemudian, gatal-gatal seluruh tubuh. Dan itu beda dengan gatal-gatal yang kita ketahui pada penyakit kulit biasa, dan biasanya itu tidak akan membaik dengan dikasih obat-obat biasa," katanya.

Oleh karena itu, dia pun menyoroti pentingnya skrining guna mengetahui risiko sakit ginjal sebelum ada gejala klinis. Dia mencontohkan, salah satu yang dicek adalah kandungan proteinuria. Adapun proteinuria adalah jumlah protein tertentu dalam urin yang melebihi batas normal.

"Kemudian, sering kita temukan juga ada hematuria. Namanya istilah hematuria itu mengandung arti adanya, lolosnya sel darah merah," katanya.

Skrining tersebut dapat dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama, katanya, dan dilakukan setidaknya sekali setiap tahun bagi yang memiliki faktor risiko, dan sekali dalam 2-3 tahun bagi yang tidak punya faktor risiko.

"Kemudian pemeriksaan berikutnya bagaimana kalau ditemukan ternyata ada masalah ginjal? Nah, itu kita sesuaikan dengan saat yang tadi ya. Mereka yang apakah faktor risikonya ternyata yang masih rendah, sedang, ataupun tinggi. Yang rendah mungkin bisa tiap tiga bulan sekali. Yang risikonya sedang ataupun tinggi mungkin tiap bulan," Wayan melanjutkan.

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2025