Jakarta (ANTARA) - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta mengizinkan Marketing PT Tinindo Inter Nusa (TIN) periode 2008-2018 Fandy Lingga, yang merupakan adik terdakwa Hendry Lie, untuk mengikuti sidang kasus korupsi timah secara daring.
Hal tersebut merupakan respons dari permintaan tim penasihat hukum Fandy agar kliennya pada persidangan berikutnya, bisa mengikuti persidangan dari rumah karena mengidap kekambuhan (relapse) limfoma.
"Sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) juga, kami tidak keberatan kalau Fandy mengikuti persidangan dari rumah karena status terdakwa merupakan tahanan kota," kata Hakim Ketua Toni Irfan dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa.
Kendati demikian, Majelis Hakim meminta petugas kejaksaan dan penasihat hukum Fandy masing-masing satu orang untuk hadir di rumah Fandy guna mendampinginya setiap menjalani sidang secara daring.
Pasalnya dalam SEMA, kata Hakim Ketua, sidang pemeriksaan secara daring biasanya dilakukan di tempat tertentu, baik rumah tahanan (rutan), kejaksaan, atau gedung pengadilan lainnya, sehingga apabila dilakukan di rumah terdakwa maka harus didampingi petugas.
Baca juga: Adik Hendry Lie didakwa terlibat kasus timah rugikan negara Rp300 T
Adapun saat menghadiri sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa hari ini, Fandy hadir menggunakan kursi roda, dengan didampingi dokter yang menanganinya yakni Matthew Nathanael.
Dalam persidangan, dokter tersebut menjelaskan bahwa Fandy baru saja menjalani transplantasi sehingga imunnya masih rendah.
"Jadi memang secara kondisi, memang menegaskan bahwa pasien ini tidak bisa di lingkungan yang banyak orang, seperti itu. Maka disarankan dan diimbau untuk pasien di lingkungan rumah yang bersih," ucap Matthew.
Fandy didakwa terlibat dalam kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. pada tahun 2015—2022, yang merugikan keuangan negara senilai Rp300 triliun.
Kerugian tersebut meliputi sebanyak Rp2,28 triliun berupa kerugian atas aktivitas kerja sama sewa-menyewa alat peralatan processing (pengolahan) pelogaman dengan smelter swasta, Rp26,65 triliun berupa kerugian atas pembayaran biji timah kepada mitra tambang PT Timah, serta Rp271,07 triliun berupa kerugian lingkungan.
Keterlibatan Fandy antara lain dengan menghadiri beberapa pertemuan, mewakili PT TIN, untuk membahas kerja sama smelter swasta dengan PT Timah.
Baca juga: PT DKI Jakarta perberat vonis Direktur PT SIP di kasus korupsi timah
Fandy kerap mewakili PT TIN dalam menghadiri beberapa pertemuan untuk membahas kerja sama smelter swasta dengan PT Timah, yakni salah satunya di Griya PT Timah dan Hotel Novotel Pangkalpinang.
Pertemuan dilakukan Fandy dengan Direktur Utama PT Timah periode 2016-2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Direktur Operasi PT Timah periode 2017-2020 Alwin Albar, serta 30 pemilik smelter swasta untuk membahas permintaan Mochtar dan Alwin atas bijih timah sebesar 5 persen dari kuota ekspor para smelter swasta tersebut.
Pasalnya, bijih timah yang diekspor oleh para smelter swasta itu merupakan hasil produksi yang bersumber dari penambangan di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah.
Fandy juga diduga memerintahkan Rosalina membuat surat penawaran PT TIN perihal penawaran kerja sama sewa alat pengolahan timah kepada PT Timah atas persetujuan Pemilik Manfaat PT TIN Hendry Lie, bersama empat smelter swasta, yakni PT Refined Bangka Tin (RBT), CV Venus Inti Perkasa (VIP), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), dan PT Stanindo Inti Perkasa (SIP).
Atas perbuatannya, Fandy terancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Rangga Pandu Asmara Jingga
Copyright © ANTARA 2025