Washington (ANTARA News) - Satu tim peneliti internasional yang mempelajari migrasi angsa kepala bergaris di Pegunungan Himalaya pada Kamis (15/1) mengungkapkan hewan itu "memeluk" medan saat terbang, naik ke puncak dan menuruni lembah seperti roller coaster.

Pola penerbangan tak terduga yang digambarkan dalam jurnal Science, Amerika Serikat, itu mungkin membantu angsa menghemat energi dibandingkan jika mereka terbang secara tetap pada ketinggian ekstrim 7.000 meter lebih.

Studi yang dilakukan peneliti dari Inggris, Mongolia, Kanada, Australia, Jerman dan Amerika Serikat itu dilakukan dengan memasang alat pada angsa itu untuk memantau denyut jantung mereka, temperatur abdominal serta tekanan dan gerakan tubuh selama migrasi ke selatan mereka dari daerah berkembang biak di Mongolia ke daerah musim dingin di bagian tenggara Tibet, Tiongkok dan India.

Sebelumnya, menurut asumsi umum angsa akan terbang tinggi relatif mudah dan kemudian tetap berada di ketinggian selama terbang, kemungkinan dengan memanfaatkan angin buritan.

Namun studi baru memperlihatkan angsa cenderung terbang paling dekat dengan daratan ketika melintasi pegunungan, kendati itu berarti berulangkali harus naik melewati ketinggian dalam penerbangan yang sama.

Unggas itu menggunakan strategi roller coaster karena penurunan kepadatan udara secara progresif pada posisi yang lebih tinggi mengurangi kemampuan mereka untuk menghasilkan pengungkit dan dorongan yang diperlukan untuk terus terbang, kata tim tersebut seperti dilansir kantor berita Xinhua.

Angsa juga akan menghadapi masalah penurunan ketersediaan oksigen jika mereka terbang pada ketinggian karena konsentrasi oksigen atmosfer turun dari 21 persen pada tingkat permukaan laut menjadi 10,5 persen pada ketinggian 5.500 meter dan sekitar tujuh persen di puncak Gunung Qomolangma atau yang juga disebut Gunung Mt. Everest.

Seringnya hempasan angin meningkat pada posisi yang lebih tinggi saat angsa kepala bergaris berjuang untuk bergerak melewati udara yang lebih tipis, kata studi tersebut.

Frekuensi kepakan sayap meningkat di tempat lebih tinggi saat angsa kepala bergaris berusaha bergerak melewati usara yang lebih tipis menurut hasil studi itu.

Peningkatan kepakan sayap kemudian akan mengakibatkan peningkatan denyut jantung secara eksponensial dan kekuatan metabolis, menunjukkan bahwa ketinggian akan membuat unggas tersebut menguras terlalu banyak energi untuk mempertahankan penerbangan horizontal di tempat tinggi.

Tim itu juga terkejut saat mendapati bahwa, kadang-kala, angsa kepala bergaris terbang di udara yang naik ke atas yang diciptakan oleh pegunungan.

"Ini memberi mereka peluang terbaik untuk mendapat bantuan dari angin yang terdorong ke atas oleh daratan (yang disebut ungkitan orografis). Dengan demikian, kondisi itu memberi tambahan pendakian dengan pengurangan pengeluaran energi mereka atau setidaknya tak perlu penambahan energi," kata salah satu penulis studi tersebut, Pat Butler, Profesor di University of Birmingham.

Sementara studi terdahulu memperlihatkan unggas itu mungkin mampu terbang pada ketinggian di atas 7.000 meter, 98 persen pengamatan baru memperlihatkan mereka terbang di bawah 6.000 meter.

"Catatan tertinggi kita burung itu terbang singkat di 7.290 meter dan 6.540 meter dan tujuh dari delapan yang paling tinggi terjadi pada malam hari," kata penulis studi yang lain, Lucy Hawkes dari University of Exeter, menjelaskan bahwa terbang malam akan mengurangi ongkos penerbangan dibandingkan pada siang hari karena udara lebih dingin dan padat.

"Sangat mengesankan bahwa burung-burung itu bisa bermigrasi ke dataran-dataran tertinggi di seluruh dunia  migrate dan tetap nyaman dengan kemampuan fisiologis mereka," kata tim peneliti.

Secara keseluruhan, lebih efisien bagi unggas itu untuk terbang rendah dekat dengan daratan dan kehilangan lalu memperoleh kembali ketinggiannya, kata tim tersebut. (Uu.C003)

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015