Diskursus di lingkungan akademik perlu difokuskan pada pencarian solusi dan rekomendasi berbasis kajian ilmiah, bukan sekadar reaksi emosional terhadap sejarah masa lalu

Jakarta (ANTARA) - Menakar hubungan sipil-militer tidaklah mudah. Apalagi dengan hadirnya berbagai tantangan yang terus berkembang dalam sistem demokrasi.

Di tengah dinamika sosial dan politik, perdebatan mengenai UU TNI terus mengalir dan menjadi isu kritis yang menarik perhatian, terutama terkait peran militer di ranah sipil. Berbagai pandangan muncul, baik yang mendukung sebagai langkah strategis maupun yang mengkritik dengan berdasar pengalaman historis.

Sejarah mencatat bahwa hubungan sipil-militer di Indonesia pernah mengalami pasang surut dan dinamika yang kompleks, terutama pada era Dwi Fungsi ABRI. Model tersebut menciptakan keterlibatan militer dalam berbagai aspek kehidupan sipil dan di birokrasi pemerintahan.

Meskipun di satu sisi, ABRI, waktu itu, berkontribusi terhadap penciptaan stabilitas nasional, namun di sisi lain memunculkan tantangan dalam upaya mengokohkan supremasi sipil. Itulah sebabnya sejak reformasi, berbagai kebijakan diarahkan untuk memperkuat profesionalisme militer dan membangun hubungan yang lebih seimbang dengan kekuatan sipil.

Dalam konteks perubahan UU TNI, penting untuk meninjau kembali aspek historis ini secara objektif, bukan sekadar sebagai refleksi masa lalu, tetapi juga sebagai bahan evaluasi untuk merancang sistem yang lebih adaptif di masa depan, sehingga terwujud sistem pemerintahan yang integratif dan kolaboratif.

Pendekatan ini diperlukan agar kebijakan yang dihasilkan mampu menjawab tantangan geopolitik dan keamanan nasional, tanpa mengulang pola yang menimbulkan kekhawatiran baru di masyarakat.

Copyright © ANTARA 2025