Jakarta (ANTARA) - Ramadhan memasuki babak akhir, sudahkah puasa mendidik kita menjadi manusia yang saleh secara individu dan sosial? Sudahkah puasa Ramadhan menjadi momentum berpikir tentang kompleksitas masalah yang melanda masyarakat?

Prof. Nasaruddin Umar dalam buku berjudul “Kontemplasi Ramadhan” menyebut bahwa puasa Ramadhan mengajak kita merenungkan sejauhmana kepedulian dan kohesivitas kita terhadap kehidupan sosial.

Hal yang tampak jelas adalah gerakan takjil di masjid, menandakan spirit makan bergizi gratis yang dikelola umat dan sudah berlangsung puluhan tahun. Gerakan takjil sebagai bentuk sensitivitas moral itu, kini semakin bergema ke ruang publik.

Salah satu yang menarik masjid Jogokariyan di Yogyakarta membagi 3.500 takjil per hari, dengan donasi mencapai 52 juta. DI masjid itu, makanan dibagi dengan piring kaca, tanpa kertas dan bahan plastik.

Program takjil yang menarik lainnya adalah Masjid Husaini Cirebon. Masjid itu tidak membagi langsung makanan, hanya berupa kupon, di mana jamaah akan menyerahkan kupon ke salah satu pedagang untuk mendapat takjil. Ada sekitar 90 hingga 100 pedagang di kawasan tersebut, sehingga masjid itu tidak hanya membawa semangat berbagi, tapi juga semangat memberdayakan.

Berbagi takjil tidak hanya dilakukan di masjid, namun juga di pinggir jalan, perempatan, mendatangi panti asuhan dan pondok pesantren, serta menyapa warga dari rumah ke rumah untuk berbagi di bulan nan suci.

Kebersamaan dan kepedulian

Bulan Ramadhan juga menghadirkan ruang bersama lewat buka puasa bersama yang melibatkan lapisan masyarakat yang beragama Islam maupun agama lain. Kegiatan ini dapat merekatkan relasi sosial dan kerukunan antarwarga dan agama.

Selain itu, dana kemaslahatan umat melalui zakat, infaq, sedekah atau yang disingkat ZIS pada bulan Ramadhan meningkat secara signifikan, sebagai representasi kepedulian umat yang disalurkan untuk keperluan prioritas, terutama bagi kaum dhuafa dalam memenuhi kebutuhan fisiologis makan, minum, dan pakaian.

Dana umat lewat ZIS juga dipakai membangun masjid, santunan sosial dan pendidikan berupa panti asuhan, pondok pesantren, dan rumah tahfidz. Data mengenai pembangunan lembaga pendidikan Islam dan rumah tahfidz terus bertambah dari tahun ke tahun

Seperti yang dikemukakan dalam satu data Kementerian Agama, jumlah pondok pesantren dan lembaga pendidikan Al-Qur’an terus meningkat pada setiap provinsi di Indonesia.

Data terakhir memperlihatkan jumlah terbanyak keberadaan pondok pesantren terdapat di Jawa Barat sekitar 9.310, sedangkan lembaga pendidikan Al-Qur’an terbanyak di Jawa Timur sebanyak 41.781.

Potret peningkatan pendidikan agama secara kuantitatif di Indonesia tentunya melibatkan zakat, infaq, dan sedekah. Dana umat sebagai program alternatif non-pemerintah dalam mengupayakan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat sangat menarik untuk kita diskusikan.

Sayangnya tak banyak yang menyadari bahwa dana umat juga bisa kita pakai untuk memberdayakan masyarakat, intervensi komunitas, dan stimulus yang mendorong maju dan berkembangnya umat Islam di Indonesia.

Pemberdayaan masyarakat

Masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia, terutama umat Islam, sangat beragam, mulai dari kemiskinan, kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin, korupsi, kurangnya akses pendidikan yang berkualitas dan modern, rentannya terhadap masalah kesehatan fisik dan mental, serta bentuk-bentuk patologi sosial lainnya.

Setelah kita menganalisis masalah yang ada di masyarakat, barulah kita menawarkan intervensi dan pemberdayaan. Contoh yang dapat merepresentasikan program yang sesuai dengan permasalahan masyarakat, yaitu apa yang dilakukan salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah.

Muhammadiyah, melalui Lazismu dan Majelis Pemberdayaan Masyarakat, menawarkan program intervensi dan pemberdayaan lewat pendidikan dan beasiswa, layanan kesehatan, pelatihan kewirausahaan dan pertanian, bantuan bencana alam dan pendampingan manula, serta kegiatan penanaman pohon dan merawat lingkungan.

Jika merujuk pada teori model ekologi Brofenbrenners, analisis masalah dan pemberdayaan di komunitas mengacu pada analisis sistem sosial. Kulit luar dari sistem sosial adalah makrosistem yang berkaitan dengan penerapan hukum, norma, dan budaya.

Setelah itu, level sistem sosial ekosistem berupa layanan masyarakat. Layanan masyarakat yang diharapkan adalah sistem yang akuntabel dan transparan, yang sekarang rasanya masih jauh dari kenyataan.

Banyaknya kasus korupsi yang terjadi di sektor vital ekonomi yang dikelola oleh negara, seperti korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina, kasus tata niaga PT Timah, penyalahgunaan investasi Jiwasraya, serta pengadaan pesawat Garuda Indonesia, ini menandakan ekosistem badan yang dikelola pemerintah masih perlu untuk terus diperbaiki.

Sistem lain yang perlu kita cermati dalam memberdayakan masyarakat adalah mikrosistem, berupa kehidupan di lingkungan tempat kita hidup, baik di lingkup RT, RW, dan desa. Level lebih kecil lagi mikrosistem berupa keluarga inti, keluarga besar, dan sekolah. Serta yang terakhir individu di lingkungan sosial.

Kesemua level sistem sosial membutuhkan analisis dan penanganan jika ingin membumikan spirit Ramadhan dalam memberdayakan masyarakat. Teori ini bisa menjadi pijakan ketika ingin berbuat untuk masyarakat.

Sudah waktunya kita merenung kembali bahwa kesalehan yang ingin kita capai di bulan Ramadhan bukan hanya ibadah formal, namun kesalehan lewat jejak kebaikan dan kontribusi ke masyarakat, yang bahkan harus selalu kita lakukan ketika bulan Ramadhan telah meninggalkan kita.

*) Agung Iranda adalah dosen psikologi sosial di Universitas Jambi dan Koordinator Rumah Progresif

Copyright © ANTARA 2025