Sebaiknya, Pemerintah Indonesia menjaga dan melindungi industri minyak sawit dan produk turunannya secara holistik

Jakarta (ANTARA) - Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengharapkan Pemerintah Indonesia menurunkan besaran Pajak Ekspor dan Pungutan Ekspor sawit hingga nol persen menyusul penerapan kebijakan pajak impor ke Amerika Serikat yang diumumkan Presiden Donald Trump.

Menurut Ketua Umum SPKS Sabarudin, kenaikan pajak impor di negara tujuan ekspor sawit akan berdampak terhadap turunnya harga jual hasil panen petani sawit.

Oleh karena itu, lanjutnya, SPKS mendorong pemerintah menurunkan besaran Pajak Ekspor (Bea Keluar/BK) dan Pungutan Ekspor (PE) CPO serta produk turunannya menjadi nol persen sebab besaran BK dan PE berakibat merosotnya daya saing industri minyak sawit dan produk turunannya asal Indonesia di pasar global secara keseluruhan.

"Sebaiknya, Pemerintah Indonesia menjaga dan melindungi industri minyak sawit dan produk turunannya secara holistik, sehingga tetap memiliki daya saing kuat sebagai primadona pasar minyak nabati dunia”, kata Sabarudin dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

Dikatakannya, keberadaan BK dan PE akan semakin memperberat kondisi ekonomi perkebunan kelapa sawit milik petani, karena kian mendapat distorsi berat akibat terdampak pajak impor 32 persen yang diterapkan Presiden AS Donald Trump.

Kondisi perdagangan pasar dunia, lanjutnya, menurut beberapa pakar ekonomi, juga akan ada gelombang badai ekonomi global akibat penerapan tarif dagang tinggi yang dilakukan Presiden Trump secara sepihak.

"Perdagangan global akan menimbulkan badai ekonomi baru, sebagai reaksi dari pemberlakuan tarif dagang Amerika Serikat yang tinggi hingga 32 persen. Kondisi perdagangan dunia bakal mendapat berbagai distorsi baru akibat dampak samping yang ditimbulkan,", ujar Sabarudin.

Akibatnya, tambahnya, dampak langsung akan dirasakan petani kelapa sawit di Indonesia, karena hasil panen berupa Tandan Buah Segar (TBS) sawit akan pula terdampak harga jualnya, sebab berdasarkan hukum ekonomi pasar, setiap beban baru yang dikenakan, akan terus terdistribusi hingga mata rantai yang paling lemah.

"Posisi paling lemah sepanjang mata rantai produksi minyak sawit secara umum berada di pihak petani kelapa sawit," katanya.

SPKS memperkirakan adanya keputusan tarif dagang Presiden Donald Trump akan mendistorsi permintaan CPO dan produk turunan sehingga akan menurunkan harga jual TBS hasil panen petani berkisar 2 hingga 3 persen atau sekitar Rp60 – Rp100 per kg TBS.

Dampak anjloknya harga jual TBS petani, menurut dia, tentu akan terbantu dengan diturunkannya BK dan PE hingga nol persen, sehingga harga jual TBS hasil panen petani akan stabil.

Oleh sebab itu, SPKS meminta kepada pemerintahan Presiden Prabowo, untuk menurunkan BK dan PE terhadap CPO dan produk turunannya menjadi 0 persen sambil terus memperhatikan gejolak ekonomi yang akan timbul akibat penerapan tarif dagang baru AS.

Penurunan BK dan PE menjadi nol persen, menurut Sabarudin, dibutuhkan secepat mungkin, di sisi lain pemerintah juga perlu mengawasi perdagangan berbagai sektor barang dan jasa lainnya, sebagai pendukung perkebunan kelapa sawit, seperti pupuk dan sarana prasarana tidak naik harga jualnya.

"Melalui antisipasi sedini mungkin ini,kami berharap kondusifitas perkebunan kelapa sawit akan tetap terjaga keberlangsungannya. Kondisi ini sangat penting bagi petani kelapa sawit, supaya kinerja perkebunan kelapa sawit bisa terus meningkatkan produktivitasnya sehingga dapat membantu negara menghasilkan devisa dari penjualan CPO dan produk turunannya," katanya.

Baca juga: SPKS minta pemerintah tidak naikkan Pungutan Ekspor CPO

Baca juga: Petani sawit Indonesia raih sertifikasi RSPO berkelanjutan di Thailand

Baca juga: SPKS sebut penundaan kebijakan EUDR tak perlu dilakukan

Pewarta: Subagyo
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2025