Jakarta (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai pemerintah Indonesia dapat mencari formula yang saling menguntungkan melalui langkah negosiasi tarif Amerika Serikat (AS) yang diputuskan untuk ditempuh, alih-alih melakukan retaliasi terhadap penetapan tarif.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyampaikan, OJK dalam hal ini turut mendukung secara penuh terhadap langkah strategis pemerintah Indonesia tersebut untuk melakukan negosiasi.
“Ini juga ada satu kelebihan tersendiri dari perekonomian Indonesia yang cukup besar dan membutuhkan banyak produk dan komoditas impor dari mancanegara, termasuk yang bisa juga diimpor dari Amerika Serikat sehingga bisa lebih menyeimbangkan neraca perdagangan yang selama ini Indonesia surplus tinggi,” kata Mahendra dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RKDB) Maret 2025 di Jakarta, Jumat.
Ia menambahkan, Indonesia bisa melakukan diversifikasi sumber impor sehingga neraca perdagangan dengan AS berimbang, tanpa Indonesia sendiri secara total harus meningkatkan jumlah impornya dan lebih kepada diversifikasi.
Mahendra menjelaskan bahwa kebijakan tarif perdagangan AS secara mendasar dapat dan sudah mengubah tatanan sistem perdagangan global yang selama ini diatur atau mengikuti perjanjian multilateral WTO maupun dengan prinsip-prinsip serupa diterapkan di tingkat kawasan regional ataupun bilateral tapi dengan standar dan prinsip yang sama, kepada bentuk hubungan perdagangan yang diatur lebih berdasarkan bilateral case-by-case.
Berhadapan dengan perubahan yang drastis tersebut, imbuh dia, tentunya risiko yang dialami adalah ketidakpastian yang kemudian berdampak kepada volatilitas kepada berbagai hal termasuk kepada variabel-variabel keuangan dan pasar keuangan.
“Dan kita sudah lihat dalam seminggu atau 10 hari terakhir ini bagaimana hal tadi mengakibatkan dinamika yang sangat volatile di dalam variabel maupun juga pasar keuangan,” kata dia.
Sekalipun hal itu terjadi, jelas Mahendra, yang perlu dicermati dan pahami adalah bagaimana potensi risiko kepada perekonomian global serta perekonomian nasional dan sektor keuangan.
Ia menyebutkan, apabila dilihat dari rasio antara ekspor ditambah impor terhadap PDB nasional atau rasio perdagangan terhadap PDB, Indonesia berada di kisaran 36-38 persen. Walaupun secara nilai terlihat besar, namun sebenarnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara lain.
Sebagai perbandingan, rasio perdagangan terhadap PDB Singapura sekitar 300 persen. Selanjutnya, Malaysia dan Thailand di atas kisaran 125-150 persen, serta Filipina dan Vietnam sekitar 90-100 persen.
“Jadi artinya exposure dari perekonomian Indonesia kepada internasional itu relatif tidak tinggi atau jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara lain,” ujar Mahendra.
Ia menyampaikan, besaran tarif yang diberlakukan AS memang tampak tinggi. Namun, dampak pengenaan tarif AS sebesar 32 persen apabila seperti rencana semula maka secara nett ada pada kisaran kurang dari 1 persen terhadap PDB Indonesia.
“Dari nilai ekspor Indonesia yang berada di kisaran 250 miliar dolar AS, ekspor Indonesia ke Amerika Serikat berada di kisaran 10 persen. Dari 10 persennya itu bisa dikatakan tidak lebih dari 35 persennya atau dengan kata lain keseluruhannya 4-5 persennya yang akan terpengaruh terhadap penetapan tarif, kalau itu dijadikan 32 persen seperti rencana semula. Jadi besarnya kalau dihitung-hitung keseluruhan hanya kurang dari 1 persen terhadap PDB,” kata Mahendra.
Diberitakan sebelumnya, Pemerintah Indonesia mempersiapkan sejumlah paket negosiasi yang akan dibawa ke perundingan untuk menghadapi kebijakan tarif timbal balik atau resiprokal AS di Washington D.C.
Pada 2 April lalu, Trump mengumumkan kenaikan tarif ke banyak negara. Indonesia berada di urutan kedelapan di daftar negara-negara yang terkena kenaikan tarif AS, dengan besaran 32 persen.
Pada Rabu (10/4), Trump mengumumkan penundaan kebijakan tarif impor hingga 90 hari ke berbagai mitra dagang, kecuali untuk China sebesar 125 persen. Negara yang rencananya akan dikenakan tarif resiprokal lebih tinggi hanya dikenakan tarif dasar sebesar 10 persen, yang mana untuk baja, aluminium, dan mobil akan sama.
Namun Memasuki Kamis (11/4), Trump merevisi tarif impor ke China menjadi 145 persen, yang merupakan batas bawah atau masih berpotensi meningkat ke depan.
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Zaenal Abidin
Copyright © ANTARA 2025