Penggabungan ketiga Perpres ini pun dipercepat guna mewujudkan tata kelola pengolahan sampah menjadi energi listrik dapat berjalan lebih baik dan tidak membingungkan
Jakarta (ANTARA) - Swasembada energi menjadi salah satu program yang digalakkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto agar Indonesia sebagai negara yang berdaulat tidak bergantung pada negara lain, khususnya di tengah kondisi geopolitik global yang tidak menentu.
Berbagai cara ditempuh oleh Pemerintah, dengan menggali potensi yang ada, tak terkecuali mentransformasikan sampah menjadi energi bersih dan berkelanjutan.
Sampah-sampah hasil rumah tangga maupun industri, bila tidak dikelola dengan baik hanya akan menjadi permasalahan negara yang tak kunjung reda. Sebagaimana diketahui, volume sampah setiap harinya terus meningkat tanpa bisa dibendung.
Oleh karena itu, diperlukan sebuah solusi yang tidak hanya menyelesaikan masalah persampahan, tetapi juga mampu memberikan manfaat secara ekonomi, sekaligus menghasilkan energi baru terbarukan (EBT).
Kemajuan teknologi saat ini sudah mampu menciptakan energi baru yang lebih bersih dan berkelanjutan, salah satunya dengan mengolah sampah yang dapat bertransformasi menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Pemerintah pun sangat serius melihat potensi dari PLTSa ini, bahkan telah menargetkan bahwa limbah-limbah sampah yang dihasilkan masyarakat dapat diolah menjadi listrik dan bahan bakar minyak (BBM) di 30 kota besar Indonesia pada 2029 mendatang. PLTSa ini diharapkan mampu menyumbang listrik 20 megawatt di tiap kota.
Baca juga: Pemerintah intensif dukung bangun PLTSa untuk atasi sampah
Akselerasi melalui Perpres
Akselerasi pemanfaatan sampah menjadi energi diharapkan bisa menjadi solusi penanganan sampah di daerah yang akan didukung dengan aturan baru mengenai elektrifikasi.
Untuk itu, pemerintah tengah melakukan penyatuan tiga Peraturan Presiden (Perpres) terkait pengelolaan sampah guna mendukung upaya pemanfaatan sampah menjadi energi listrik lewat PLTSa.
Adapun tiga Perpres yang disatukan itu adalah Perpres Nomor 97 Tahun 2017 tentang kebijakan dan strategi nasional pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga, Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang percepatan pembangunan instalasi pengolahan sampah menjadi energi listrik berbasis teknologi ramah lingkungan, serta Perpres Nomor 83 Tahun 2018 tentang penanganan sampah di laut.
Nantinya, aturan tersebut akan mencakup berbagai jalur perizinan pengolahan sampah hingga skema biaya listrik dari PLTSa sebesar 19,20 sen per kilowatt hour (kWh). Jumlah itu berada di atas penetapan tarif listrik dari PLTSa yang ditetapkan PLN yaitu 13,5 sen per kWh. Selisih itu rencananya akan dipenuhi dengan subsidi dari Kementerian Keuangan.
Penggabungan ketiga Perpres ini pun dipercepat guna mewujudkan tata kelola pengolahan sampah menjadi energi listrik dapat berjalan lebih baik dan tidak membingungkan.
Selama ini aturan terkait perizinan pengelolaan sampah terlalu berbelit-belit. Pengurusan izin harus melewati berbagai kementerian/lembaga dan instansi terkait lainnya.
Menteri Koordinator Bidang Pangan (Menko Pangan) Zulkifli Hasan menilai bahwa perizinan tersebut dapat membuat investor yang melihat peluang baru dari sampah ini jadi mundur, dan rencana pengolahan menggunakan teknologi pun tidak jadi dilanjutkan.
Ia lantas memutuskan untuk melebur ketiga Perpres, dengan harapan dapat menyederhanakan aturan dan memotong proses perizinan. Nantinya, untuk melakukan pengolahan sampah menjadi energi listrik, hanya perlu melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saja dan langsung diteruskan ke PT PLN (Persero).
"Kita akan selesaikan cepat, bagaimana rantai pengolahan sampah yang begitu panjang perizinannya itu dibersihkan," kata Zulhas.
Regulasi yang disederhanakan dan penyesuaian tarif listrik dari PLTSa ini, diyakini dapat menarik lebih banyak investasi swasta untuk terlibat dalam bisnis di sektor pengolahan sampah.
Selain itu, melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), proyek pengelolaan sampah diharapkan berjalan efektif tanpa terlalu membebani anggaran negara.
Baca juga: Menko AHY evaluasi PLTSa di 12 kota, sebut hanya berjalan di dua kota
Menarik investor swasta
Banyak negara maju, seperti Singapura, China, Jepang, dan negara-negara di Eropa telah lebih dulu melakukan transformasi sampah menjadi energi. Meski demikian, Indonesia belum terlambat untuk menuju ke arah sana.
Penyederhanaan regulasi (deregulasi) perizinan dan penyesuaian tarif, menjadi sebuah ikhtiar untuk dapat menggaet para investor baik secara pendanaan maupun teknologi.
Deregulasi ini sangat penting karena panjangnya urusan perizinan dan kelembagaan bisa membuat investor mundur teratur, meski potensi bisnisnya begitu besar.
Saking menjanjikan, Chief Investment Officer (CIO) Daya Anagata Nusantara (Danantara) Pandu Sjahrir menyebut bahwa bisnis ini dapat balik modal hanya dalam waktu 5-6 tahun. Keyakinan ini didapat berdasarkan perbandingan dengan negara-negara maju.
Sebagai Badan Pengelola Investasi, Danantara juga memiliki peran penting dalam penyeleksian investor. Sebab tidak hanya soal dana, salah memilih teknologi yang digunakan hanya akan membuat proses transformasi ini berjalan lambat atau tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Oleh karena itu, diharapkan nantinya investor yang masuk ke Indonesia sudah berpengalaman dalam pengelolaan sampah di skala yang cukup besar.
Saat ini sudah beberapa negara yang tertarik untuk berinvestasi seperti Singapura, Korea Selatan, Jepang, China dan Eropa. Namun, mereka juga masih wait and see terkait dengan regulasinya.
Indonesia sendiri bukannya tak punya tempat pengelolaan sampah. Yang tercatat sudah mulai melakukan tugasnya antara lain Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Benowo, Surabaya, Jawa Timur dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang di Bekasi, Jawa Barat.
Kehadiran dua tempat tersebut, diharapkan dapat menjadi inspirasi dan diikuti oleh kota-kota lain di Indonesia. Sebab, kunci utama untuk menjadi kota yang cerdas adalah terdapat tempat pengelolaan sampah yang modern.
Nantinya, pengolahan sampah tidak terbatas pada energi listrik saja, tetapi juga mencakup bahan bakar minyak (BBM) dengan teknologi pirolisis. Pemerintah pun sangat optimis, EBT ini dapat tercapai asalkan menggunakan teknologi yang tepat.
Oleh karen itu, sangat penting untuk segera mengakselerasi Perpres pemanfaatan sampah menjadi energi, yang juga didukung dengan aturan baru mengenai elektrifikasi. Sebab, potensi peningkatan jumlah sampah yang cepat seiring dengan laju pertambahan penduduk membuat realisasi PLTSa tidak bisa ditunda.
Baca juga: Menteri LH pastikan rencana PLTSa akan pakai teknologi tangani polutan
Baca juga: Wakil MPR cari solusi penanganan sampah di PLTSa Benowo
Copyright © ANTARA 2025