Jangan sampai secara mendadak ada pihak lain yang turut menggerogoti kewenangan Pertamina.

Jakarta (ANTARA News) - Wacana tentang pembentukan pengelola (aggregator) tunggal gas telah beredar, hal itu tak lepas dari platform energi yang ditetapkan oleh pemerintah.

Presiden Jokowi berjanji, akan memperkuat gas sebagai energi alternatif yang lebih murah dan ramah lingkungan. Pemerintah meyakini dengan mempercepat konversi bahan bakar minyak (BBM) ke gas, bisa mengatasi persoalan subsidi BBM yang terus membebani APBN.

Kemudian siapakah yang pantas untuk menjadi aggregator tunggal gas di negeri yang konon kaya akan sumber gas alam ini?

Pengamat sektor minyak dan gas, Pri Agung Rakhmanto, mengaku belum tahu persis wujud konkret aggregator gas.

Namun dia berharap hendaknya lembaga yang diberi kewenangan sebagai aggregator gas bisa berperan selayaknya Bulog pada masa lampau.

Artinya, benar-benar memiliki kewenangan penuh sebagai stabilisator harga. Termasuk di antaranya, kewenangan membeli dan menjual.

Kalau peran tersebut selama ini ternyata sudah dimainkan Pertamina, lanjutnya, sebenarnya pemerintah tidak perlu membentuk aggregator gas yang baru. Yang ada hanya memperjelas peran tersebut.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Muhammad Budyatna, mengatakan Pertamina layak menjadi aggregator tunggal gas dari hulu sampai hilir. Mengingat kemampuan, pengalaman serta posisi Pertamina sebagai BUMN.

"Jadi, kalau menyebut siapa yang seharusnya menjadi aggregator gas, tentu Pertamina, dong," tegas Budyatna, di Jakarta, Selasa.

Budyatna mengatakan bahwa penilaian terhadap Pertamina merujuk Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".

Menurut Budyatna, pasal tersebut sudah sangat jelas,sehingga menjadikan Pertamina sebagai pengelola gas dari hulu ke hilir, merupakan amanah UUD 1945 yang tidak boleh dilanggar.

Yang penting, lanjutnya, adalah masalah kepemimpinan, transparansi, dan akuntabilitas, termasuk, jangan ada intervensi di tengah jalan. Misalnya, tiba-tiba kewenangan Pertamina sebagai aggregator gas disusupi kepentingan lain.

"Jangan sampai ada penumpang gelap yang membonceng. Jangan sampai secara mendadak ada pihak lain yang turut menggerogoti kewenangan Pertamina," lanjutnya.


Penumpang gelap, tidak boleh terjadi

Bukan tanpa alasan, Budyatna mencemaskan "penumpang gelap" tersebut. Dia mencontohkan, pengelolaan minyak di Blok Cepu, yang akhirnya 55 persen dikuasai pihak swasta, padahal semula pemerintah menetapkan bahwa 85 persen dikelola pemerintah.

"Lantas, mengapa tiba-tiba di tengah jalan kewenangan pihak non pemerintah melonjak? Hal-hal seperti ini yang tidak boleh lagi terjadi, termasuk dalam mengelola gas dari hulu ke hilir nantinya," jelas Budyatna.

Sementara menurut peneliti LIPI Prof. Syarif Hidayat, ide tersebut sangat bagus dan harus mendapat dukungan. Sebab, ini adalah manifestasi "one stop service". Kalau selama ini pelayanan satu pintu dikenal dalam perizinan, maka sekarang bisa dalam bentuk lain, yakni pemenuhan kebutuhan energi bagi masyarakat.

Terkait kemungkinan bahwa Pertamina yang akan menjadi aggregator tunggal, Syarif menilai bahwa hal itu memang dimungkinkan. Apalagi, selama ini Pertamina memang memiliki kemampuan melakukan eksplorasi dan eksploitasi.

Selain itu, Pertamina juga berpengalaman dalam hal distribusi. Namun agar tujuan percepatan konversi dari BBM ke gas bisa terwujud, Syarif menyarankan agar distribusi juga dilakukan melalui instalasi, termasuk pipa-pipa sampai ke rumah.

"Ini adalah tantangan teknis yang harus dijawab pemerintah," pungkas Syarif.

(F004)

Oleh Faisal Yunianto
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2015