Kairo (ANTARA) - Seruan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump baru-baru ini, yang meminta agar kapal-kapal AS dapat melewati Terusan Suez tanpa biaya, memicu kecaman luas di Mesir.

Para pakar hukum, pemimpin politik, dan masyarakat menyebut pernyataan sang presiden tidak memiliki landasan hukum dan merupakan ancaman serius terhadap tatanan internasional.

Pada Sabtu (26/4), Trump mengunggah pernyataan di Truth Social, sebuah platform media sosial yang mayoritas sahamnya dia miliki bahwa kapal-kapal militer dan komersial AS harus diizinkan untuk melakukan perjalanan melewati Terusan Panama dan Terusan Suez secara gratis.

Ia mengklaim kedua terusan tersebut "tidak akan ada" tanpa AS dan mengatakan bahwa dia telah meminta Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Marco Rubio untuk segera "menangani dan meresmikan situasi ini."

"Usulan Trump tentang jalur air internasional merupakan ancaman serius bagi perdamaian, keamanan, dan ketertiban umum internasional," kata Profesor Hukum internasional di Universitas Kairo Ayman Salama,kepada Xinhua pada Senin (28/4).

Salama menyoroti Konvensi Konstantinopel 1888, yang menetapkan prinsip-prinsip dasar yang mengatur urusan internasional dengan Terusan Suez, yang menjamin hak semua negara untuk memanfaatkan jalur air global ini.

Ia mengatakan klaim Trump yang "tidak memiliki landasan hukum", yang mengabaikan kedaulatan negara-negara pesisir atas selat dan perairan teritorial mereka, dapat mengarah pada campur tangan dalam urusan dalam negeri suatu negara, yang jelas merupakan pelanggaran terhadap prinsip umum non-interferensi dalam hukum internasional kontemporer.

Seraya memperingatkan gangguan terhadap perdagangan internasional dan bahaya terhadap ekonomi global yang dapat dipicu oleh campur tangan AS, pakar hukum Mesir tersebut mendesak komunitas internasional untuk berdiri teguh dalam membela hukum dan konvensi internasional serta mengambil langkah serius guna melindungi dasar hukum pelayaran.

Sementara itu, Wakil Ketua Komite Urusan Luar Negeri, Arab, dan Afrika Senat Mesir Samaa Soliman pada Senin (28/4) menegaskan bahwa "hanya Mesir yang bertanggung jawab untuk mengamankan dan melindungi Terusan Suez", dan pendapatan yang dihasilkan dari biaya transit terusan itu adalah sumber daya berdaulat yang sah untuk mendukung ekonomi nasional dan melayani kepentingan warga negara Mesir dan tidak boleh dirusak dengan dalih atau alasan apa pun.

Senator Mesir itu menyebut seruan Trump sebagai "campur tangan yang tidak dapat dibenarkan dalam urusan sebuah negara berdaulat dan tidak konsisten dengan prinsip saling menghormati antar negara."

Soliman mengatakan bahwa Terusan Suez dan ekonomi Mesir dirugikan oleh AS seiring kebijakannya yang tidak adil dalam masalah Palestina memicu ketidakstabilan di kawasan tersebut dan gagal untuk menghentikan Houthi di Yaman.

Pendapatan Mesir dari Terusan Suez turun lebih dari 60 persen secara tahunan (year on year/yoy) pada 2024 di tengah ketegangan Laut Merah, yang mengakibatkan kerugian sebesar hampir 7 miliar dolar AS (1 dolar AS = Rp16.862), menurut Otoritas Terusan Suez (Suez Canal Authority/SCA).

Presiden Partai Tagammu Mesir Sayed Abdel Aal yang beraliran sosialis mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Minggu (27/4) bahwa "pernyataan (Trump) tidak hanya mewakili retorika yang provokatif, tetapi juga menunjukkan mentalitas kolonial yang penuh kebencian."

Ia menjelaskan biaya kanal bersifat adil dan ditentukan sesuai dengan standar internasional, tanpa diskriminasi, seraya menambahkan bahwa AS tidak dapat menetapkan penerapan keistimewaan.

"Seruan Trump hanya dapat dilihat sebagai kolonialisme ekonomi dengan tampilan yang berbeda," ujarnya.

Pada Minggu (28/4), Aliansi Partai-Partai Mesir, yang terdiri atas sekitar 42 partai politik mengutuk pernyataan Trump, menyebut presiden AS itu "mengabaikan fakta-fakta sejarah."

Kontroversi tersebut memicu reaksi keras di media sosial Mesir, terutama terkait pernyataan Trump soal kelayakan AS untuk mendapatkan pengakuan atas perannya dalam eksistensi terusan tersebut.

"Leluhur kami membangun Terusan Suez dengan darah mereka ketika Amerika dilanda perang saudara. Kami akan melanjutkan jejak leluhur kami dan Trump tidak akan bisa memaksakan syarat-syaratnya terhadap kami," demikian bunyi salah satu unggahan yang dibagikan secara luas.

Terusan yang dibuka pada 1869 itu telah lama menjadi urat nadi perdagangan global yang menghubungkan Laut Tengah dan Laut Merah. Terlepas dari sejarah kolonialnya yang kompleks di bawah kendali Prancis dan Inggris, terusan tersebut tetap menjadi simbol kebanggaan nasional yang kuat bagi warga Mesir, terutama sejak dinasionalisasi pada 1956 oleh Presiden Gamal Abdel Nasser, yang menjadi momen penting dalam sejarah modern Mesir.

Pewarta: Xinhua
Editor: Benardy Ferdiansyah
Copyright © ANTARA 2025