Anak-anak Indonesian lebih adaptif, cepat menyerap sistem sesuai dengan kebutuhan. Kadang lebih `kepepet` (mereka) lebih kreatif."
Batam (ANTARA News) - Menteri Arief Yahya bersama rombongan berjalan menyusuri lorong-lorong penjara bawah tanah.

Lorongnya berdebu, dengan dinding menguning penuh dengan guratan-guratan; yang sekilas menunjukkan umurnya yang tua.

Rombongan sampai di suatu ruangan serupa bengkel, penuh dengan bagian-bagian mesin dan perkakas. Namun, masih belum ada tanda-tanda mereka dekat dengan gerbang keluar.

Menyusuri lorong klaustrofobik yang hanya disinari lampu jingga temaram dengan langit-langit yang tidak lebih tinggi daripada orang dewasa itu hingga di suatu titik rombongan berhenti melangkah.

"Nantinya ruangan ini akan diledakkan," kata seorang pria di barisan depan.

Peristiwa di atas bukanlah plot penculikan atau penyekapan seorang petinggi negara. Namun, hanya sebuah tur ke salah satu set buatan untuk syuting film di sebuah studio milik Infinite Studios.

Sejumlah wartawan bersama Menteri Pariwisata Arief Yahya belum lama ini  mengunjungi studio film dan animasi tersebut yang terletak di kawasan Nongsa, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.

Di kompleks kreatif yang dibangun di areal seluas 10 hektare di atas bukit dengan panorama laut tersebut, sineas perfilman dari dalam maupun luar negeri menggarap berbagai film seri dan layar lebar serta animasi.

Di salah satu studio indoor, para kru produksi tampak sibuk di depan satu set yang dibuat seperti di dalam pesawat luar angkasa alien.

Beberapa benda bulat seperti telur menggantung ditahan oleh tali-tali yang terlihat seperti lendir hitam, sebuah lingkungan yang terlihat sangat asing.

"Ini untuk syuting film Beyond Skyline," kata Mike Wiluan, CEO dari Infinite Studios.

Beyond Skyline adalah sekuel dari film sebelumnya, Skyline, yang bertemakan serbuan makhluk luar angkasa ke bumi.

"Boleh foto, tetapi tidak boleh di-upload (unggah)," kata putra dari konglomerat Indonesia Kris Wiluan itu kepada rombongan Kementerian Pariwisata dan wartawan.

Pindah dari satu studio ke studio yang lain bagaikan melakukan perjalanan lintas waktu dan tempat karena setiap studio mempunyai "dunia" yang berbeda.

Setelah menyusuri lorong-lorong buatan dan latar film makhluk asing, Mike membawa para tamu ke menuju studio outdoor yang dibangun menyerupai kompleks Chinatown dengan bangunan-bangunan toko tua dan tembok-tembok usang.

Ada toko gadai, kedai kopi, hingga bar. Tembok dan tiang penyangga rumah-rumah buatan itu pun takluput dari sentuhan mendetail dengan tempelan-tempelan selebaran dan pamflet iklan berhuruf kanji Tiongkok.

Dibuat menyerupai salah satu sudut kota Singapura tempo dulu dengan jalan beraspal selebar sekitar 6 meter, studio outdoor seluas 1 hektare itu pernah digunakan sebagai set film Blackhat, yang disutradarai oleh Michael Mann dan dibintangi oleh Chris Hemsworth, yang terkenal lewat perannya sebagai Thor.

Saat ini kompleks Chinatown tersebut juga sedang digunakan untuk syuting serial TV Serangoon Road yang akan tayang di HBO.

Di kompleks studio terbuka itu juga dibangun set yang menyerupai Candi Prambanan. "Karena biayanya tinggi untuk ke sana, kami buat saja setnya di sini," kata Mike.

Menpar pun kemudian berfoto dengan Mike Wiluan bersama dua duta pariwisata nan jelita di depan Candi Prambanan palsu itu.

Strategis dan Kompetitif
Technical Director Infinite Studios Daniel Harjanto mengatakan bahwa saat ini 90 persen yang menggunakan jasa produksi film mulai dari pengambilan gambar, visual efek, tata suara, hingga animasi adalah konsumen dari luar negeri.

Selain lokasinya yang strategis di Pulau Batam, berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia, Infinite Studios juga menawarkan harga yang cukup kompetitif untuk produksi film.

"Untuk TV Series, biaya per episodenya sekitar 120 ribu dolar AS per tiga puluh menit," kata Daniel.

Sementara itu, lanjut Daniel, biaya produksi di Amerika Serikat bisa mencapai 400 ribu--450 ribu dolar AS, sedangkan di Korea antara 185 ribu--215 ribu dolar AS.

Takheran jika banyak sineas internasional dan negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam, yang tertarik bekerja sama dengan studio yang dirintis pada tahun 2004 itu.

Infinite Studios juga menjadi markas bagi kurang lebih 219 artis digital atau animator, yang 90 persen lebih adalah anak bangsa, untuk memproduksi film-film animasi.

Salah satu film layar lebar animasi yang diproduksi di Infinite Studios adalah Sing to the Dawn atau Meraih Mimpi yang dirilis di bioskop-bioskop Indonesia pada bulan September 2009.

Selain itu, ada juga serial animasi yang digarap seperti Garfield dan Peter Rabbit, yang telah ditayangkan sebanyak 108 episode di channel Nickelodeon.

Sebagian besar tokoh-tokoh animasi sudah didesain dari luar studio, sementara para animator Infinite Studios lebih fokus pada bagian produksi film.

Daniel pun mengakui bahwa animator Indonesia mempunyai keunggulan dibanding dengan para artis dari negeri tetangga dan luar negeri.

"Anak-anak Indonesian lebih adaptif, cepat menyerap sistem sesuai dengan kebutuhan. Kadang lebih kepepet (mereka) lebih kreatif," kata Daniel.

Untuk membuat film animasi sepanjang 11 menit, sebanyak 20 artis animator membutuhkan waktu selama empat hingga lima minggu, tutur Daniel.

Seniman-seniman Indonesia, menurut dia, sebenarnya jauh lebih kompetitif karena hidup di negara yang kaya akan budaya dan seni.

"Sejak abad empat Masehi sudah ada kerajaan di Indonesia, para petani-petani di Bali pun bisa melukis dan memahat dengan baik. Dari segi kemampuan, artistik kita lebih unggul," kata Daniel.

Menpar Arief Yahya pun dalam kunjungannya sangat mengapresiasi dan terkesan dengan apa yang telah dibangun Mike Wiluan dan kerja para sineas di Infinite Studios.

"Akan tetapi, jika lebih diarahkan ke desain dan marketing, profitabilitasnya akan lebih tinggi," kata Menpar.

Jika dibandingkan dengan desain dan marketing, "value chain" bagian produksi mempunyai profitabillitas yang paling rendah di antara ketiganya karena ongkos produksi yang tinggi. "Nanti anak-anak lebih diarahkan ke sana," lanjut Arief.

Dengan demikian, Indonesia bisa banyak bersaing di industri kreatif, khususnya perfilman, dengan ide-ide kreatif, tidak perlu limbah dan pabrik yang besar-besar, tetapi mempunyai "value" atau nilai yang lebih tinggi, harap Menpar.

Selain itu, Arief memandang film bisa menjadi media yang mempunyai kontribusi besar bagi promosi pariwisata Indonesia.

Ketika menyaksikan trailer dan "behind the scene" film Blackhat, Menpar sangat terkesan ketika sejumlah budaya Indonesia seperti pawai Ogoh-Ogoh dan ondel-ondel menjadi salah satu objek di beberapa adegan film yang diambil di Jakarta dan sejumlah tempat lainnya di Indonesia tersebut.

"Ini menjadi cara PR (Public Relations) dan branding yang bagus (bagi Indonesia)," kata Arief.

Seperti halnya yang terjadi setelah Bangka Belitung diangkat lewat film Laskar Pelangi. "Dari situ, kita melihat pengaruh yang besar dari film pada pariwisata," kata Arief.

Arief dan Mike telah membuka pembicaraan untuk membuat konsep pusat kreativitas di kompleks Infinite Studios yang dinamakan Batam Digital Valley sebagai wadah bagi anak-anak muda yang kreatif, terutama di bidang perfilman dan animasi.

Ke depannya, selain menjadi pusat kreativitas, mungkin saja Infinite Studios menjadi salah satu destinasi wisata di Pulau Batam, tempat wisatawan bisa berekreasi sekaligus belajar tentang pembuatan film dan animasi, harap Menpar.

Jika film-film besar seperti James Bond, Star Wars, dan Pirates of the Carribean melakukan syutingnya di Pinewood Studios di Inggris, suatu saat nanti bisa saja makin banyak para sineas termasyhur Hollywood dan dunia yang mengusung kamera dan kru mereka ke Infinite Studios untuk melakukan syuting di Indonesia dengan menggali berbagai macam kekayaan alam dan budaya Indonesia untuk memperkaya kisah di film-film mereka.

Oleh Aditya E.S. Wicaksono
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015