Kendati pasal berita bohong dalam KUHP lama telah dinyatakan tidak berlaku, saat ini ketentuan serupa masih termaktub dalam KUHP terbaru.

Jakarta (ANTARA) - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendorong peninjauan ulang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana usai berbagai putusan Mahkamah Konstitusi mengenai kebebasan berekspresi.

Peneliti ICJR Nur Ansar dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Rabu, mengatakan bahwa Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang diucapkan pada hari Selasa (29/4) telah menegaskan bahwa Pasal 27A UU ITE terkait dengan penyerangan kehormatan atau nama baik tidak berlaku untuk lembaga pemerintah.

Putusan tersebut, menurut dia, secara langsung menimbulkan kebutuhan untuk meninjau kembali pengaturan mengenai tindak pidana penghinaan terhadap presiden, wakil presiden, pemerintah, dan lembaga negara dalam ​​Pasal 218, 219, 240, dan 241 KUHP 2023 yang akan berlaku pada tanggal 2 Januari 2026.

Jika merujuk pada KUHP yang saat ini berlaku serta putusan MK, kata Nur Ansar, terhadap pasal penghinaan presiden, wakil presiden, dan pemerintah telah tidak berlaku.

Dengan demikian, lanjut dia, pengaturan kembali tentang penyerangan kehormatan terhadap presiden, wakil presiden, pemerintah, dan lembaga negara dalam UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP harus ditinjau ulang untuk dihapus.

Di samping itu, ICJR menyoroti Putusan MK Nomor 78/PUU-XXI/2023 yang diucapkan pada tanggal 21 Maret 2024.

Dalam putusan itu, MK menghapus Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) perihal penyebaran berita bohong atau hoaks.

Kendati pasal berita bohong dalam KUHP lama telah dinyatakan tidak berlaku, menurut dia, saat ini ketentuan serupa masih termaktub dalam Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP terbaru. Oleh sebab itu, ICJR menilai pasal berita bohong semestinya dihapuskan dalam KUHP yang baru tersebut.

Baca juga: Mensesneg minta kebebasan berpendapat tetap dilandasi tanggung jawab

Baca juga: Polri siap beradaptasi usai adanya putusan MK soal UU ITE

Di samping itu, pasal terkait dengan hoaks juga masih terdapat dalam Pasal 28 ayat (3) UU ITE. Melalui Putusan Nomor 115/PUU-XXII/2024 yang juga diucapkan pada hari Selasa (29/4), MK tidak menghapus pasal penyebaran hoaks, tetapi mempertegas penafsiran terhadap frasa "kerusuhan".

Menurut MK, frasa tersebut harus dimaknai sebagai kondisi kerusuhan di ruang fisik, bukan di ruang digital. Artinya, tindakan penyebaran informasi atau dokumen elektronik yang memuat pemberitahuan bohong dapat dipidana jika menimbulkan kerusuhan nyata di lingkungan masyarakat.

Nur Ansar mengemukakan bahwa masih berlakunya Pasal 28 ayat (3) UU ITE dan pasal berita bohong dalam KUHP terbaru ke depannya secara langsung memberikan mandat kepada aparat penegak hukum untuk teliti dalam menafsirkan tindak pidana tersebut.

Dalam pertimbangan MK, kata dia, salah satu dasar perbaikan penafsiran frasa "kerusuhan" dilakukan agar sesuai dengan prinsip HAM. Dalam konteks ini, penggunaan pasal berita bohong sudah seharusnya tidak digunakan untuk kasus-kasus yang erat kaitannya dengan ekspresi atau pendapat masyarakat.

ICJR turut menyoroti pengetatan norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang dibubuhkan MK dalam Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024. MK telah membatasi bahwa setiap orang dilarang menyebarkan informasi yang secara substantif memuat tindakan atau penyebaran kebencian, dilakukan secara sengaja di depan umum, dan menimbulkan risiko nyata.

Menurut Nur Ansar, penekanan MK tersebut harus menjadi perhatian dari aparat penegak hukum saat memeriksa tindak pidana ujaran kebencian.

"Penafsiran ini memberikan konsekuensi perlunya melihat kesengajaan dan juga akibat dari perbuatan orang yang dianggap melakukan ujaran kebencian," ucapnya.

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2025