Jakarta (ANTARA) - Ketika badai perang dagang kembali berhembus dari poros Washington–Beijing, Indonesia berada pada simpul dilema, menjadi korban dari tarik-menarik kepentingan dua raksasa dunia atau tampil sebagai simpul strategis baru dalam rantai pasok global.

Penerapan tarif tambahan 32 persen terhadap ekspor Indonesia ke Amerika Serikat menimbulkan kekhawatiran serius. Kekhawatiran tersebut muncul bukan hanya dari sisi neraca perdagangan, tetapi juga ancaman terhadap lapangan kerja, banjir produk asing, dan dislokasi pasar bagi pelaku industri dalam negeri.

Rapat Kerja Komisi VII DPR RI bersama Menteri Perindustrian pada 29 April 2025 mencerminkan kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga daya tahan industri nasional dalam menghadapi kebijakan proteksionisme Amerika Serikat.

Dalam Rapat Dengar Pendapat tersebut tercapai kesepahaman bahwa respons terhadap situasi ini tidak bisa hanya bersifat jangka pendek. Perlu pendekatan sistemik dan lintas sektor.

Pendekatan yang perlu diambil diantaranya adalah pertama, strategi hilirisasi dan diversifikasi produk industri manufaktur harus menjadi prioritas. Perluasan pasar ekspor non-tradisional dan penguatan pasar domestik dilakukan seiring dengan diplomasi perdagangan bilateral dan multilateral.

Kedua, pemerintah perlu mengantisipasi trade diversion atau pengalihan perdagangan melalui instrumen proteksi seperti Bea Masuk Anti Dumping (BMAD), countervailing atau instrumen perdagangan berupa bea masuk imbalan, dan tindakan pengamanan (safeguard).

Ketiga, insentif fiskal dan non-fiskal untuk investasi manufaktur harus direalisasikan secara cepat dan merata, termasuk bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

Keempat, DPR mendesak implementasi insentif padat karya seperti pembebasan PPh 21, subsidi bunga investasi, dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kelima, usulan pembentukan Satgas Perlindungan Industri di bawah Kemenperin menjadi langkah penting untuk mencegah banjirnya produk impor dan menjaga stabilitas industri nasional.

Satgas Perlindungan Industri

Usulan pembentukan Satgas Perlindungan Industri tidak boleh dianggap basa-basi politik. Satgas ini menjadi perangkat penting negara dalam merespons ancaman nyata yaitu masuknya produk-produk dumping dari luar negeri yang bisa membunuh usaha lokal.

Satgas ini harus melibatkan lintas Kementerian, termasuk Bea Cukai, Kepolisian, dan Kejaksaan, untuk menjalankan fungsi intelijen pasar, penegakan hukum, dan advokasi industri.

Kehadiran Satgas juga penting untuk menjamin pelaku industri kecil dan menengah tidak menjadi korban dari relaksasi kebijakan perdagangan yang tidak terkoordinasi. Ia harus menjadi “mata dan telinga negara” di lapangan, memastikan produk dalam negeri diberi ruang bertumbuh secara sehat dan adil.

Salah satu titik tekan dalam pembahasan dengan Menteri Perindustrian adalah perlunya mengembalikan fungsi Kawasan Berikat sesuai dengan semangat awal pembentukannya, yaitu sebagai wilayah khusus yang mendorong ekspor dan pertumbuhan industri berorientasi global.

Namun dalam praktiknya, Kawasan Berikat ini kadang justru dimanfaatkan hanya sebagai fasilitas perpajakan dan perizinan semata, tanpa mendorong kinerja ekspor yang signifikan.

Komisi VII menekankan agar kawasan ini direformasi menjadi ekosistem produksi dan ekspor, bukan sekadar zona logistik atau penyimpanan. Pemerintah perlu menetapkan standar minimum kontribusi ekspor dari pelaku industri dalam kawasan berikat, serta mendorong penyelarasan fasilitas kawasan ini dengan insentif industri hijau.

Kawasan berikat juga dapat dijadikan pilot project untuk digitalisasi rantai pasok dan integrasi teknologi industri 4.0. Dengan demikian, Indonesia bukan hanya menjadi produsen, tapi juga pemain penting dalam jaringan logistik dan teknologi manufaktur global.

Solusi Struktural

Indonesia memiliki basis domestik yang kuat. Sekitar 70 hingga 80 persen produksi manufaktur negara ini diserap oleh pasar dalam negeri. Dengan bonus demografi dan pertumbuhan kelas menengah, kita bisa membangun kekuatan industri yang mandiri dan kompetitif.

Kita tak perlu iri pada negara tetangga, Vietnam atau Thailand. Yang kita butuhkan adalah keberpihakan konsisten pada industri nasional.

Langkah-langkah strategis yang dicanangkan Kementerian Perindustrian, seperti tax holiday, super deduction, hingga subsidi bunga KUR, adalah pijakan penting. Namun tantangannya terletak pada pelaksanaan dan keberlanjutan.

Kita tak bisa hanya merespons krisis. Yang dibutuhkan adalah reformasi struktural yang menjawab akar persoalan yaitu regulasi yang tumpang tindih, lemahnya daya saing SDM, hingga belum optimalnya kawasan industri.

Komisi VII perlu meminta laporan berkala atas efektivitas semua insentif yang sudah dijanjikan. Apakah benar telah menyentuh IKM? Sejauh mana dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja dan ekspor? Monitoring dan evaluasi berbasis data harus menjadi fondasi pengambilan keputusan.

Komisi VII DPR RI memiliki peran strategis sebagai pengawal kebijakan industri. Momentum ini harus dimanfaatkan untuk melahirkan peraturan yang berpihak pada penciptaan nilai tambah, transformasi digital industri, dan daya saing jangka panjang. Kita boleh tidak bisa mengendalikan arah angin, tapi kita bisa mengatur arah layar pembangunan.

Jika pemerintah dan parlemen terus bersatu menjaga muruah industri nasional, maka Indonesia tidak hanya akan selamat dari badai perang dagang, tapi juga akan tumbuh sebagai kekuatan manufaktur baru di Asia.


*) Rioberto Sidauruk adalah tenaga ahli di Komisi VII DPR RI. Aktif menulis isu-isu Legislasi Industri, UMKM, Standarisasi Nasional, Ekonomi Kreatif, dan Kemandirian Nasional.

Copyright © ANTARA 2025