Kesenjangan pemahaman tentang disabilitas menjadi salah satu hambatan besar yang membuat banyak siswa dengan kebutuhan khusus terabaikan

Jakarta (ANTARA) - Hari Pendidikan Nasional setiap tahun hadir seperti gema yang membangkitkan kesadaran kolektif bangsa tentang pentingnya mencerdaskan kehidupan rakyat.

Namun dalam gema itu, ada suara yang kerap tak terdengar, bahkan tak diundang, yakni suara penyandang disabilitas.

Di negeri yang menjunjung semboyan Bhinneka Tunggal Ika ini, rupanya akses pendidikan bagi kaum disabilitas masih belum menjadi arus utama.

Mereka masih berjalan dalam kesepian di lorong sunyi, menyusuri jalan panjang yang seringkali tertutup dinding-dinding ketidaktahuan, diskriminasi, dan sistem yang belum ramah terhadap keberagaman kemampuan.

Di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, ada lebih dari 22 juta penyandang disabilitas. Namun hanya sebagian kecil dari mereka yang berhasil menempuh pendidikan dasar secara penuh, apalagi pendidikan tinggi.

Laporan "Analisis Lanskap Anak-anak dengan Disabilitas di Indonesia" yang dirilis oleh UNICEF dan BAPPENAS pada Desember 2023 mengungkapkan bahwa anak-anak dengan disabilitas menghadapi ketidaksetaraan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, kesehatan, dan inklusi sosial.

Meskipun jumlah sekolah inklusif meningkat sebesar 29 persen dari tahun 2020 hingga 2021, anak-anak dengan disabilitas masih memiliki peluang lebih rendah untuk bersekolah dan menyelesaikan pendidikan dibandingkan teman sebaya tanpa disabilitas.

Bahkan, bagi mereka yang bersekolah pun, kualitas pembelajaran yang diterima kerap tidak adaptif dengan kebutuhan mereka.

Ruang kelas yang kurang akamodatif, kurikulum yang seragam, pengajar yang belum memahami pedagogi inklusif, serta stigma dari masyarakat dan bahkan dari sesama murid menjadi tembok tinggi yang menghalangi langkah mereka menjemput masa depan.

Yang paling menyakitkan dari semua itu adalah bahwa masyarakat, masih sering menganggapnya wajar.

Masyarakat terbiasa melihat pendidikan sebagai hak yang harus "layak diberikan" hanya ketika seseorang dianggap "normal", dan melupakan bahwa hak belajar bukan soal layak atau tidak layak, melainkan soal martabat sebagai manusia.

Lebih lanjut lagi, pendidikan bukan hadiah, bukan pula imbalan, melainkan jalan yang semestinya disetarakan untuk siapa saja yang ingin berjalan, apapun kondisi fisiknya, apapun bentuk tubuhnya, seperti apapun keterbatasan intelektualnya, seperti apapun cara ia memahami dunia.

Maniza Zaman, Perwakilan UNICEF untuk Indonesia, menegaskan bahwa setiap anak, tanpa memandang kemampuan mereka, berhak mendapatkan peluang yang sama untuk berkembang.

Sayangnya, anak-anak dengan disabilitas terus menghadapi ketidaksetaraan yang jelas dalam semua aspek perkembangannya.

Sudah saatnya semua mengakui dan mengatasi tantangan ini agar Indonesia benar-benar inklusif dan bisa memanfaatkan potensi tanpa batas setiap anak.

Baca juga: Mendikdasmen siapkan mekanisme salurkan bantuan pendidikan bagi guru

Baca juga: Pramono janji buat pergub untuk pendidikan anak disabilitas


Regulasi Pendukung

Pendiri Yayasan Teman Hebat Berkarya (lembaga
yang berfokus pada pendidikan dan pemberdayaan disabilitas usia dewasa), Aisyah Winna Putri, mengatakan, pendidikan yang seharusnya bisa diakses oleh semua individu tanpa terkecuali kenyataannya masih belum sepenuhnya dipraktikkan setara bagi setiap individu. Sistem dan praktiknya belum sepenuhnya mengakomodir pemahaman dan penghargaan kepada penyandang disabilitas.

“Kesenjangan pemahaman tentang disabilitas menjadi salah satu hambatan besar yang membuat banyak siswa dengan kebutuhan khusus terabaikan,” katanya.

Ia berpendapat, saat ini sudah saatnya menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dimana setiap orang tanpa melihat kondisi atau kemampuannya bisa didukung untuk berkembang secara optimal.

Padahal sebenarnya, di Indonesia berbagai regulasi telah disusun. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas secara tegas menyatakan bahwa setiap penyandang disabilitas berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan yang inklusif atau satuan pendidikan khusus.

Begitu pula Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif yang menyebutkan bahwa sekolah umum seharusnya terbuka untuk anak-anak berkebutuhan khusus.

Tetapi dalam praktiknya, regulasi itu masih jauh dari kenyataan di lapangan. Banyak sekolah yang belum memiliki sarana prasarana pendukung, seperti aksesibilitas bangunan, alat bantu belajar, hingga tenaga pendidik yang paham tentang pendekatan individual dan komunikasi alternatif.

Sebagian sekolah bahkan secara halus menolak menerima murid disabilitas dengan alasan tidak siap, tidak ada guru pendamping, atau kekurangan fasilitas. Penolakan ini, meski terselubung, tetap menyisakan luka yang tak mudah disembuhkan.

Hari Pendidikan Nasional seharusnya menjadi momen reflektif yang mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk melihat ulang siapa yang ditinggalkan dalam perjalanan panjang bernama pembangunan pendidikan.

Sudah waktunya bangsa ini berhenti memaknai pendidikan sebagai upacara seremonial dengan slogan dan janji-janji, dan mulai melihatnya sebagai ruang konkret di mana keadilan sosial diuji.

Pendidikan inklusif bukan sekadar membangun sekolah luar biasa atau menyatukan murid disabilitas ke sekolah umum.

Lebih dalam dari itu, pendidikan inklusif berarti mendesain sistem pendidikan yang menghormati keberagaman cara belajar, menyediakan kurikulum fleksibel, serta mempersiapkan guru dan masyarakat untuk menjadi sahabat dari perbedaan.

Tentu ini bukan pekerjaan mudah. Tetapi justru karena itulah pekerjaan ini harus dimulai. Indonesia bisa mengambil contoh dari negara-negara seperti Finlandia dan Kanada yang telah lama mengintegrasikan pendekatan pendidikan inklusif ke dalam sistem nasional mereka.

Di negara-negara tersebut, anak-anak dengan disabilitas tak perlu mengemis perhatian. Mereka mendapatkan hak yang sama secara struktural dan kultural.

Baca juga: AIDRAN latih guru dukung pembelajaran literasi digital disabilitas

Baca juga: Jalan Idealisme Ki Hajar Dewantara


Sekolah Inklusif

Di Indonesia, perlu ada langkah konkret yang diawali dari pendanaan afirmatif untuk sekolah inklusif, pelatihan berkelanjutan untuk guru, hingga kampanye publik untuk mengubah cara masyarakat memandang disabilitas.

Pemerintah pusat dan daerah harus berani menetapkan target kuota keterlibatan anak disabilitas dalam sistem pendidikan nasional, bukan sebagai beban, melainkan sebagai indikator kemajuan bangsa.

Namun tanggung jawab ini tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah. Masyarakat sipil, media, dunia usaha, dan komunitas pendidikan perlu menjadi bagian dari gerakan perubahan ini.

Perlu ada ekosistem kolaboratif di mana para penyandang disabilitas tidak sekadar menjadi penerima bantuan, tetapi turut terlibat sebagai subjek perubahan, sebagai guru, pembicara, pembuat kebijakan, dan inspirator bagi sesama.

Pendidikan inklusif bukan tentang mengasihani yang berbeda, melainkan merayakan bahwa perbedaan adalah bagian dari kekayaan intelektual bangsa.

Pada akhirnya, tidak ada makna Hari Pendidikan Nasional jika ia hanya dirayakan dengan bendera dan pidato.

Ia harus dihidupkan dengan keberanian untuk bertanya, apakah anak-anak yang paling marjinal, yang paling sunyi, yang paling tak dianggap, sudah kita berikan ruang untuk belajar dan tumbuh?

Jika jawabannya belum, maka hari ini seharusnya menjadi hari peringatan, bukan perayaan. Karena selama masih ada satu anak disabilitas yang tidak bisa masuk sekolah hanya karena ia penyandang disabilitas, maka sesungguhnya negeri ini belum benar-benar berpendidikan.

Bangsa ini baru menghafal, belum memahami. Bangsa ini baru bersekolah, belum menjadi manusia.

Pendidikan yang sejati adalah yang membebaskan. Dan kebebasan itu tak bisa dimonopoli oleh tubuh atau mental yang dianggap sempurna.

Di dalam ruang kelas yang adil, semua anak duduk sejajar, bukan karena mereka sama, tetapi karena mereka sama-sama berharga. Di situlah Hari Pendidikan Nasional menemukan maknanya yang paling jujur.

Baca juga: Peneliti BRIN: Pendidikan Indonesia terus alami dinamika dan pembaruan

Baca juga: Jalan Idealisme Ki Hajar Dewantara

Copyright © ANTARA 2025