Langsa (ANTARA News) - Otoritas kehutanan di Kota Langsa, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) menyesalkan digerusnya kawasan lindung hutan mangrove seluas 250 hektar untuk pembangunan kawasan industri di dekat Pelabuhan Kuala Langsa. "Sudah ada HGB (hak guna bangunan) seluas 130 hektar yang telah dikeluarkan kepada Kopalmas oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Langsa, dan Kopalmas masih mengajukan lagi untuk 120 hektar tambahan, padahal baik Menteri Kehutanan (Menhut) dan Pemerintah Provinsi belum mengeluarkan rekomendasi untuk izin pengembangan industri itu," kata Ir Razali A Karim, Kepala Bidang Kehutanan dan Perkebunan kepada ANTARA News di Langsa, Rabu. Kota Langsa, berjarak sekitar 600 Km ke arah Timur dari ibukota Provinsi NAD, Banda Aceh. Disela-sela memandu Tim Independen yang diberi mandat Satuan Kerja (Satker) Pesisir dan Pengembangan Lingkungan Hidup Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias untuk melakukan observasi kinerja Satker itu pada tahun 2006 ini, ia menyatakan telah melakukan pengecekan kepada Dephut dan otoritas kehutanan di Provinsi NAD, dan ternyata kedua otoritas pusat dan provinsi belum merekomendasikan izin apapun untuk peralihan peruntukan itu. "Bagi kami yang diberi mandat untuk tetap menjaga kawasan lindung agar tetap lestari, tentu saja kami kaget dengan kejadian ini," katanya. Dikemukakannya bahwa digerusnya kawasan hutan lindung pantai dimaksud, secara ekologis akan sangat berpengaruh pada kerusakan lingkungan kawasan, terlebih dari lahan yang telah diubah peruntukannya itu langsung berhadapan dengan lautan lepas, yakni Selat Malaka. Kondisi tersebut, kata Razali A Karim, berpotensi pada ancaman di kawasan sekitar Pelabuhan Kuala Langsa, karena iklim angin kencang sering melanda daerah itu. "Bila kawasan lindung hutan mangrove yang menjadi `green belt` (sabuk hijau) selama ini tidak ada, maka angin dan ombak bisa langsung menghantam daratan," katanya. Ia mengemukakan bahwa izin HGB kepada Kopalmas --sebuah koperasi yang akan mengelola industri di kawasan lindung yang kini sedang ditimbun itu--telah diberikan Walikota Langkat pada tahun 2002, dan sejauh yang diketahuinya akan dipakai untuk industri yang berkaitan dengan CPO (kelapa sawit). Menurut dia, sebenarnya di depan Pelabuhan Kuala Langsa, terdapat kawasan hutan produksi --yang nyata-nyata bukan kawasan lindung--yang bisa dipakai bagi kepentingan industri tersebut, namun justru kawasan lindung yang kemudian dipakai. "Buat kami yang selama ini diberi tugas untuk menjaga lingkungan dan kobservasi, peralihan peruntukan yang kemudian harus mengorbankan kawasan lindung, benar-benar sangat kami sesalkan," katanya. Pasalnya, selama ini pihaknya justru sedang dan terus berusaha untuk "menghutankan kembali" sekitar 9.000 lebih kawasan mangrove yang kini rusak dan dalam kondisi kritis untuk kembali pulih, termasuk yang kini sedang dikerjakan BRR NAD-Nias melalui Satker Pesisir dan Pengembangan Lingkungan Hidup, namun di sisi lain, kawasan lindung yang ada justru malah diubah peruntukannya. "Akhirnya, pekerjaan konservasi dan rehabilitasi kawasan mangrove yang sedang gencar dilakukan `membentur` pada kenyataan seperti itu," katanya. Mengingat tahapan pembangunan fisik belum terlanjur meluas, pihaknya berharap Pemkot Langsa dapat melakukan peninjauan ulang kebijakannya dan dapat merelokasi ke area yang bukan kawasan lindung, sehingga kelestarian lingkungan di Langsa dapat dipertahankan, demikian Razali A Karim.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006