Dalam mengelola kecerdasan buatan, jurnalis manusia harus tetap berada pada pusat proses pengambilan keputusan untuk mencegah distorsi informasi
Jakarta (ANTARA) - World Press Freedom Day atau Hari Kebebasan Pers Dunia yang diperingati setiap 3 Mei adalah momen penting untuk menatap ke depan tentang peran media dalam demokrasi dan kebebasan berekspresi.
Di tahun ini, melalui jalan diskusi sesama pekerja media, telah dilahirkan tantangan baru yang merupakan bagian dari kemajuan teknologi, terutama dalam hal kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI).
Maraknya penggunaan AI dalam dunia jurnalistik, merupakan tantangan besar yang muncul dalam mempertahankan keakuratan informasi dan integritas pemberitaan. Artificial Intelligence membawa dampak besar pada dunia jurnalisme dengan meningkatkan kecepatan dan efisiensi dalam produksi berita, serta mempermudah pengolahan data besar.
Tetapi, meskipun AI menawarkan kemudahan, perlu diwaspadai adanya potensi kesesatan informasi yang dihasilkan oleh algoritma, sehingga AI tidak sepenuhnya dapat menggantikan peran manusia dalam mengawasi dan memverifikasi konten.
Fenomena post-truth, di mana emosi dan keyakinan pribadi lebih memengaruhi pembentukan opini publik dibandingkan dengan fakta objektif, semakin berkembang dengan adanya AI.
Algoritma yang digunakan dalam media sosial dan platform berita sering kali memperburuk masalah dengan memprioritaskan konten yang sensasional dan bias dengan tujuan agar lebih menarik perhatian, meskipun tidak berbasis pada fakta yang akurat.
Adalah salah jika kita menganggap algoritma itu netral. Karena ia dibentuk dan dilatih dengan data manusia. Layaknya sebuah cermin, jika data latihnya bias, maka hasilnya juga akan bias.
Baca juga: 10 kasus ancaman terhadap pers di dunia
Halaman berikut: Pendekatan human-in-the-loop menjadi solusi yang sangat relevan
Copyright © ANTARA 2025