...Tentunya di konteks perencanaan dan penyelenggaraan dan pelaksanaan lintas sektor, memang perlu terus didorong forum-forum yang sifatnya kolaboratif untuk memastikan semua intervensi berjalan secara tepat sasaran
Jakarta (ANTARA) - Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Diah Lenggogeni memaparkan tantangan eliminasi tuberkulosis (TB/TBC) di Indonesia.
Pertama ialah tingginya beban TB dan underreporting mengingat Indonesia berada di peringkat kedua kasus terbanyak dengan estimasi 387 per 100 ribu penduduk.
Perkiraan kasus mencapai 1,09 juta, tetapi hanya 81 persen yang ditemukan dan dilaporkan.
“Jadi memang harus terus kita dorong. Fokus kita ke depan, TB RO (Resistensi Obat) ini harus diprioritaskan juga untuk pengobatannya karena banyak juga aspek untuk identifikasi di awalnya di faskes (fasilitas kesehatan) itu terus harus diperkuat,” katanya dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Pengawasan Mengenai Jaminan Kesehatan Nasional bersama Komisi IX DPR RI di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Gates Foundation bakal bantu eliminasi TB RI lewat diagnostik baru
Permasalahan ini mengenai masih adanya kasus TB aktif di tengah masyarakat yang belum terdiagnosis, terutama di daerah dengan akses layanan terbatas. Karena itu, diperlukan perluasan pendekatan Active Case Finding (ACF) dan penguatan sistem surveilans berbasis komunitas, serta digitalisasi pelaporan.
Tantangan kedua ialah tingginya angka TB RO (Multidrug-Resistant Tuberculosis/MDR TB) dengan data yang menunjukkan hanya 50 persen kasus TB RO berhasil diobati secara efektif. Kompleksitas pengobatan, keterbatasan fasilitas rujukan, dan stigma sosial menjadi penghambat keberhasilan terapi TB RO.
Menimbang hal tersebut, penguatan jejaring laboratorium, perluasan akses pengobatan lini kedua, dan dukungan sosial pasien menjadi hal krusial untuk menurunkan beban MDR-TB.
Selanjutnya yaitu masih adanya stigma disinformasi dan rendahnya kesadaran masyarakat yang tercermin dari banyaknya pasien menunda pengobatan karena takut diskriminasi atau kurangnya pemahaman mengenai gejala dan penularan. Upaya edukasi dan komunikasi risiko sendiri masih belum masif dan konsisten.
Bappenas melihat pelibatan tokoh masyarakat, kader, media sosial, dan pendekatan berbasis budaya diperlukan untuk membangun community ownership terhadap program TB.
Baca juga: Wamenkes sebut RW di Malang contoh efektivitas ACT dalam eliminasi TBC
Fragmentasi perencanaan dan pelaksanaan lintas sektor menjadi hambatan lain dalam mengeliminasi TB, menimbang kurangnya koordinasi antara sektor kesehatan dengan sektor perumahan, pendidikan, lingkungan, dan ketenagakerjaan yang menyebabkan intervensi TB tak komprehensif. Hanya sebagian daerah saja yang telah mengintegrasikan program TB dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategis (Renstra) Dinas terkait.
Dalam hal ini, Kementerian PPN menilai tata kelola yang lebih kuat dan integratif antar sektor serta insentif fiskal diperlukan untuk pemerintah daerah dalam mendukung eliminasi TB.
Kesenjangan pembiayaan juga menjadi problem, dengan estimasi kebutuhan pendanaan program TB nasional mencapai di bawah Rp3 triliun per tahun, tetapi gap pendanaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dan donor masih besar. Ketergantungan pada sumber eksternal (donor) pada akhirnya menimbulkan risiko keberlanjutan program.
Pihaknya merancang strategi optimalisasi APBN/APBD, pengembangan skema pembiayaan inovatif seperti memanfaatkan Dana Alokasi Khusus (DAK) Tematik, dan transisi pembiayaan domestik yang bertahap guna mengatasi persoalan kesenjangan tersebut.
Baca juga: Sebagian besar pasien Tuberkulosis usia produktif
Terakhir adalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur layanan TB turut menjadi tantangan, dimana ketersediaan tenaga terlatih TB tak merata, terutama di wilayah timur Indonesia dan daerah tertinggal.
Sebagian besar puskesmas disebut belum dilengkapi dengan alat diagnosis cepat seperti Tes Cepat Molekuler (TCM) atau Xpert. Saran dari Bappenas yang diberikan dalam hal ini ialah diperlukan strategi redistribusi SDM, insentif tenaga kesehatan di daerah prioritas, serta investasi pada teknologi diagnostik dan sistem informasi.
“Tentunya di konteks perencanaan dan penyelenggaraan dan pelaksanaan lintas sektor, memang perlu terus didorong forum-forum yang sifatnya kolaboratif untuk memastikan semua intervensi berjalan secara tepat sasaran,” ucap Diah Lenggogeni.
Baca juga: Kemenkes deteksi 889 ribu orang yang terkena TB per Maret 2025
“Ini akan terus kita upayakan, terutama juga masih ada kesenjangan pembiayaan karena kami melakukan exercise, (bahwa) dibutuhkan lebih dari Rp3 triliun pendanaan untuk TB per tahunnya yang mungkin bisa didukung tidak hanya dari APBN bisa dari APBD maupun program JKN dan hibah untuk penguatan sumber daya kesehatan,” ungkapnya.
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.