radikalisasi tidak didorong oleh kemiskinan atau pemasungan sosial. Ideologi jelas memainkan peran besar dalam memotivasi beberapa orang untuk berpartisipasi"
London (ANTARA News) - "Jihadi John", militan ISIS yang selalu mengenakan masker dengan pakaian hitam-hitam dan bertanggung jawab atas pemenggalan sandera-sandera Barat, akhirnya terungkap.  Dia adalah programer komputer asal London keturunan Kuwait bernama Mohammed Emwazi.

Pusat Internasional untuk Studi Radikalisasi pada London's King's College, yang selama ini menjadi sumber utama dalam meneliti para aktivis jihad asing, mengatakan identitas ini "akurat dan benar".

Cage, kelompok pembela HAM yang pernah menjalin kontak dengan Emwazi selama dua tahun atas sangkaan kekerasan oleh petugas keamanan Inggris, mengatakan pria itu mirip sekali dengan militan bertudung itu.

Direktur riset Cage Asim Qureshi berkata kepada seorang wartawan Washington Post bahwa karena ada tudung itu maka belum 100 persen yakin orang itu adalah Emwazi.

New York Times mengutip seorang pejabat senior Inggris melaporkan bahwa Emwazi sebenarnya sudah diidentifikasi beberapa tahun lalu namun namanya dirahasiakan untuk alasan operasional.

Namun Kepolisian Metropolitan London tidak akan mengonfirmasi laporan yang muncul pertama kali di Washington Post yang menyebut si tersangka adalah Emwazi, yang tumbuh di London barat setelah pindah ke Inggris pada usia enam tahun.

"Kami tidak akan memastikan identitas siapa pun, pada tingkat ini," kata Richard Walton, ketua Komando Kontraterorisme.

Kementerian Dalam Negeri Inggris juga enggan bersegera mengomentari laporan media itu.

Suka bergaya dan sopan

Emwazi yang diyakini masih berusia 20-an, diidentifikasi oleh The Post oleh teman-teman dan keluarganya, dengan salah seorang di antaranya berkata kepada koran AS ini, "Saya yakini Mohammed adalah Jihadi John".

Dia berasal dari keluarga kelas menengah dan sarjana programing komputer sebelum pergi ke Suriah sekitar tahun 2012, tulis The Post.

Dia digambarkan seorang orang yang pendiam dan sopan dengan cita rasa berbusana tinggi.

Dia rupanya teradikalisasi setelah ditahan oleh pihak berwenang menyusul sebuah penerbangan ke Tanzania dan dituduh oleh para pejabat intelijen Inggris sedang mencoba pergi ke Somalia di mana dia diyakini punya kaitan dengan seseorang yang punya koneksi ke kelompok ekstremis militan al-Shabab.

Menurut salah satu email yang dikirimkan kepada Cage, dia juga marah akibat dilarang terbang dari London ke Kuwait pada 2010.

"Saya punya pekerjaan yang sudah menanti saya dan pernikahan yang sudah siap sedia," tulis dia dalam email yang disiarkan Cage.  "Tapi kini saya merasa seperti tahanan, hanya saja tidak di dalam kurungan, melainkan di London."

Dia menyebut dirinya sebagai orang yang terpenjara dan dikendalikan oleh para petugas keamanan, "menghentikan saya dari kehidupan saya di tempat dan negara kelahiran saya, Kuwait."

"Dia mati-matian ingin memanfaatkan sistem untuk mengubah situasinya namun sistem akhirnya menolak dia," kata Qureshi. "Kasus ini semestinya memicu pemikiran mengenai kebijakan dalam negeri dan luar negeri Inggris."

"Penaksiran-penaksiran risiko apakah, jika ada, yang telah dibuat oleh kebijakan kontraterorisme Inggris dan bagian kunci yang dimainkannya dalam meradikalisasi seseorang?" kata dia.

Ideologi, bukan kemiskinan

"Jihadi John", diambail dari nama anggota The Beatle --John Lennon-- karena aksen Inggrisnya, diyakini bertanggung jawab terhadap pembunuhan dua jurnalis Amerika James Foley dan Steven Sotloff, pekerja bantuan Inggris David Haines dan Allan Henning, serta seorang pekerja bantuan kemanusiaan asal AS Abdul-Rahman Kassig.

Dia juga tampil pada video bersama dua sandera Jepang Haruna Yukawa dan Kenji Goto, beberapa saat sebelum kedua sandera ini dibunuh.

Dalam berbagai video yang diposting secara online, dia tampil mengenakan pakaian serba hitam dengan hanya kelihatan matanya, sembari memegang pisau ketika melontarkan kecaman kepada Barat.

"Fakta bahwa 'Jihadi John' tersingkap dalam cara ini menunjukkan apa pun cara yang ditempuh, kemampuan untuk menutupi identitas seseorang adalah terbatas atau faktanya adalah mustahil, dan identitas asli mereka akhirnya terungkap," ulas Pusat Internasional untuk Studi Radikalisasi pada London's King's College.

Merujuk dari asal kelas menengahnya, Pusat Internasional untuk Studi Radikalisasi pada London's King's College mengatakan itu menunjukkan radikalisasi tidak didorong oleh kemiskinan atau pemasungan sosial".

"Ideologi jelas memainkan peran besar dalam memotivasi beberapa orang untuk berpartisipasi," kata Pusat Internasional ini.

Para pejabat intelijen Inggris menaksir bahwa ada sekitar 700 militan di dalam negeri yang bertempur demi ISIS di Suriah dan Irak.

"Petempur-petempur Inggris jelas memperlihatkan bahwa mereka tidak berada di konflik ini untuk duduk di belakang meja. Mereka berperan penuh dalam perang ini, beroperasi sebagai pembom bunuh diri, penculik, dan pengeksekusi."

sumber: AFP

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015