Maka, penggabungan harus dilakukan dengan cermat agar tidak menghapus nilai simbolik dan fungsional mereka dalam sejarah Indonesia

Jakarta (ANTARA) - Wakil Kepala Staf Kepresidenan Muhammad Qodari baru-baru ini menyinggung arah dan positioning tiga lembaga penyiaran milik negara, yakni RRI, TVRI, dan LKBN ANTARA.

Dalam wawancara di sebuah stasiun televisi nasional, ia menyampaikan bahwa ketiganya perlu ditata ulang agar mampu menjawab tantangan zaman secara lebih efisien dan strategis. Pernyataan itu kembali membuka ruang diskusi tentang integrasi media negara.

Wacana penggabungan ketiga lembaga sebenarnya telah lama mengemuka. Gagasan dasarnya adalah menciptakan ekosistem media negara yang lebih kuat, ramping, dan adaptif terhadap perkembangan teknologi informasi. Kini, momentum itu tampaknya hadir melalui pembahasan Rancangan Undang-Undang Radio dan Televisi Republik Indonesia (RUU RTRI) di Komisi VII DPR RI.

UU Penyiaran nomor 32 Tahun 2002 dalam Pasal 14 ayat 1 dan 2 mengidentifikasi Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagai lembaga penyiaran berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara dan berfungsi sebagai sarana komunikasi massa bagi masyarakat.

Kedua lembaga, seperti dijelaskan dalam Pasal 15 UU tersebut, bertugas menyediakan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta mempromosikan kehidupan demokrasi, keanekaragaman budaya, dan pelestarian lingkungan hidup; meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya; dan menyediakan akses bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi, serta meningkatkan kualitas dan aksesibilitas informasi bagi masyarakat.

Arsip foto - Menteri BUMN Erick Thohir (kiri) berbincang bersama Menkominfo Budi Arie Setiadi (tengah) didampingi Dirut Perum LKBN ANTARA Akhmad Munir (kanan) saat akan menandatangani prasasti pada acara peresmian ANTARA Heritage Center di Jakarta, Selasa (14/5/2024). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc/aa.

Sementara itu, Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA, sesuai Keputusan Presiden Nomor 307 Tahun 1962 yang diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 85 Tahun 1966, bertugas menyediakan informasi yang akurat dan objektif kepada Masyarakat dengan status sebagai kantor berita nasional.

Halaman berikut: Ketiga lembaga memiliki visi dan misi hampir sama

Ketiga lembaga itu memiliki visi dan misi hampir sama. Ketiganya juga mendapat dana dari APBN, kecuali LKBN ANTARA melalui skema Public Service Obligation atau PSO. Artinya secara pendanaan ketiganya melibatkan peran pemerintah. Maka, penyatuan dalam satu ekosistem media negara dinilai sebagai langkah logis untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas.

Atas dasar itulah kemudian banyak kalangan berharap ketiga media itu disatukan dalam sebuah holding atau korporasi, sehingga lebih efisien. Gagasan penyatuan tersebut makin menggema dalam pembahasan RUU Radio dan Televisi Republik Indonesia atau RTRI di Komisi VII DPR RI.

RUU RTRI yang saat ini masih digodok, antara lain mengusulkan penggabungan RRI dan TVRI menjadi Lembaga Penyiaran Publik Radio dan Televisi Republik Indonesia - LPP RTRI. Selain untuk efisiensi, penggabungan dapat menciptakan efektivitas dan peningkatan kualitas siaran publik, serta memperkokoh fungsi lembaga dalam menyediakan informasi dan hiburan berkualitas.

Sayangnya, dalam pembahasan RUU RTRI, LKBN ANTARA belum secara eksplisit disertakan. Ini disebabkan perbedaan bentuk kelembagaan. Padahal, semangat konvergensi media menuntut sinergi penuh, bukan pengelompokan sektoral.

Direktur Pemberitaan LKBN ANTARA Irfan Junaedi (ketiga kiri) berbincang dengan Deputy Editor-in-Chief Kantor Berita Xinhua Ren Weidong (kedua kanan) saat melakukan pertemuan untuk kerja sama lanjutan di Antara Heritage Center, Jakarta, Senin (25/11/2024). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/agr/aa.

Baca juga: DPR minta masukan LKBN Antara terkait RUU RTRI

Konvergensi Media

Konsep konvergensi muncul jauh sebelum kehadiran teknologi digital dan internet. Pertama disampaikan Nicholas Negroponte dari Massachusetts Institute of Technology pada tahun 1978, untuk menggambarkan kerja sama kalangan industri media saat itu. Namun konsep "konvergensi media" bertumbuh sejak transformasi digital melanda dunia.

Henry Jenkins, seorang ahli media Amerika, mempopulerkan konsep konvergensi media melalui bukunya berjudul Convergence Culture: Where Old and New Media Collide pada tahun 2006. Menurut Jenkins, konvergensi media merupakan aliran konten di beberapa platform media, secara kolaboratif, yang memungkinkan publik mendapatkan informasi di berbagai platform dalam satu kanal, dengan berbagai aktivitas secara interaktif.

Dengan media berbasis digital, industri penyiaran lebih mudah mengontrol program layanannya dalam bentuk teks, audio, dan visual.

Hal senada disampaikan pakar komunikasi Flow dan Burnett & Marshall, bahwa konvergensi media berpijak pada tiga poin penting, yaitu computing & information technology, communication network, dan digital content.

Ketiga sistem tersebut menawarkan konsep jaringan media sosial yang lebih mudah dan murah, berbagai model interaksi dalam ruang global yang borderless atau tanpa batas, didukung kehandalan produk teks atau gambar, audio, dan video melalui berbagai platform, seperti media sosial, situs web, atau aplikasi konten digital.

Semua program dapat dikemas secara terintegrasi melalui platform digital. Tren inilah yang menggeser cara orang berkomunikasi secara berlangganan sesuai permintaan atau subscription - based on demand.

Arsip foto - Direktur Utama Perum LKBN ANTARA Akhmad Munir (kanan) dan Direktur Pemberitaan Perum LKBN ANTARA Irfan Junaidi (tengah) melihat koleksi foto-foto arsip saat berkunjung ke Kantor Berita Rumania Agerpress untuk menandatangani nota kesepahaman (MoU) pertukaran berita teks,foto dan video di Bucharest, Rumania, Selasa (12/11/2024). ANTARA FOTO/Prasetyo Utomo/Spt/aa.

Baca juga: Sikapi RUU RTRI, Putra Nababan ingatkan wartawannya harus multiskill

Halaman berikut: RRI, TVRI, dan LKBN ANTARA dapat digabungkan dalam satu entitas payung bernama “Suara Indonesia”

Suara Indonesia

Dalam skema ideal, RRI, TVRI, dan LKBN ANTARA dapat digabungkan dalam satu entitas payung bernama “Suara Indonesia”. Sebagai holding atau korporasi besar, mereka tetap mempertahankan nama dan identitas masing-masing --RRI, TVRI, dan ANTARA-- namun dikelola secara terintegrasi dari sisi anggaran, sumber daya, dan infrastruktur.

Korporasi ini bisa ditempatkan di bawah koordinasi Sekretariat Negara atau kementerian yang relevan. Tujuannya bukan untuk menghilangkan sejarah atau identitas lembaga, melainkan untuk menyatukan arah dan memperkuat efektivitas kelembagaan.

Kita tidak boleh melupakan nilai historis ketiganya. Lahir dari era perjuangan kemerdekaan, lembaga-lembaga ini adalah saksi sekaligus alat perjuangan bangsa. Maka, penggabungan harus dilakukan dengan cermat agar tidak menghapus nilai simbolik dan fungsional mereka dalam sejarah Indonesia.

Selain itu, RUU RTRI harus menjamin independensi media negara. Jangan sampai konvergensi justru menyeret mereka kembali menjadi corong kekuasaan seperti masa lalu. Fungsi mereka sebagai media publik harus dijaga agar tetap netral, profesional, dan berada di atas semua kepentingan politik.

Sekretaris Redaksi Perum LKBN Antara Sella Panduarsa Gareta (kanan) memberikan materi pada pelatihan menulis kreatif untuk pelajar di Antara Heritage Center, Jakarta, Senin (17/3/2025). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/foc/aa.

“Suara Indonesia” adalah gagasan strategis dan simbolik. Ia bukan hanya menyatukan tiga institusi penyiaran, tetapi juga semangat membangun media negara yang kuat, terpercaya, dan relevan dengan zaman. Sebuah rumah baru bagi suara rakyat, bukan sekadar saluran negara.

Baca juga: Akses informasi harus sentuh kawasan terpencil

Baca juga: Anggota DPR: Media nasional mati perlahan jika tak revisi UU Penyiaran

Baca juga: Anggota DPR: RUU Penyiaran dirancang adaptif dan protektif bagi media

*) Dr. Eko Wahyuanto, Dosen Sekolah Tinggi Multimedia ST-MMTC Komdigi Yogyakarta

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.