Untuk keluar dari paradigma 'berburu di kebun binatang', Indonesia perlu menerapkan reformasi menyeluruh dalam strategi pemungutan pajak.

Jakarta (ANTARA) - Keadilan fiskal adalah prinsip fundamental dalam sistem perpajakan yang menuntut distribusi beban pajak secara adil sesuai dengan kapasitas ekonomi masing-masing warga negara.

Di Indonesia, sistem perpajakan dirancang secara progresif, namun dalam praktiknya seringkali mengalami deviasi. Salah satu kritik utama yang mencuat adalah kecenderungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk lebih fokus pada wajib pajak yang sudah terdaftar dan patuh, daripada menjangkau potensi besar dari sektor yang belum tergarap.

Fenomena ini dikenal sebagai praktik “berburu di kebun binatang”, yakni memburu yang mudah ditangkap, alih-alih menjangkau sumber daya yang lebih luas dan tersembunyi.

Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas dan keadilan dalam pengelolaan pajak.

Dalam konteks perpajakan, istilah “berburu di kebun binatang” mengacu pada pendekatan pemungutan pajak yang hanya menyasar wajib pajak yang telah terdaftar dan tercatat secara resmi. Kelompok ini meliputi perusahaan besar, pegawai tetap, dan sektor formal lainnya yang secara administratif relatif mudah diawasi.

Di sisi lain, sektor informal, pelaku usaha mikro, serta individu berpenghasilan tinggi yang belum terdaftar kerap luput dari jangkauan.

Masalah utama dari pendekatan ini adalah persempitan basis pajak. Meskipun penerimaan negara terlihat meningkat, faktanya kontribusi tersebut hanya berasal dari segmen ekonomi yang sama secara berulang. Ini berdampak tidak hanya pada ketimpangan beban pajak, tetapi juga menciptakan persepsi ketidakadilan di kalangan wajib pajak patuh yang merasa diperas lebih dalam daripada pelaku usaha tak terdaftar.

Berdasarkan laporan OECD pada 2021, praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional menyebabkan kerugian pendapatan pajak global antara 100 miliar–240 miliar dolar AS per tahun.

Di Indonesia, data dari Tax Justice Network pada 2023 mengungkap bahwa potensi penerimaan pajak yang hilang akibat penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional mencapai Rp3.360 triliun per tahun. Kondisi ini diperparah oleh lemahnya penegakan hukum dan keterbatasan sistem pelaporan lintas negara (cross-border reporting).

Sementara itu, ketidakpatuhan pajak di sektor informal tetap tinggi. Sektor ini menyumbang lebih dari 57 persen dari total lapangan kerja di Indonesia (BPS, 2023), namun kontribusinya terhadap penerimaan pajak sangat minim. Sementara pelaku ekonomi digital non-resmi juga tumbuh pesat, memanfaatkan celah administrasi perpajakan yang belum sepenuhnya terdigitalisasi.

Baca juga: Deregulasi, Kemenkeu sederhanakan restitusi dan pemeriksaan pajak

Kajian internasional dari Dias dan Gonçalves (2023) menunjukkan bahwa sistem perpajakan berbasis kekayaan dan konsumsi yang dikombinasikan mampu secara efektif menurunkan ketimpangan sosial.

Pajak atas kekayaan (wealth tax) menargetkan individu dan entitas yang memiliki akumulasi aset besar, sementara pajak konsumsi diarahkan untuk membatasi pemborosan dan perilaku konsumtif kelas atas. Negara-negara Skandinavia, misalnya, berhasil mempertahankan indeks Gini yang rendah dengan penerapan sistem ini secara konsisten dan adil.

Di sisi domestik, Pusat Kebijakan Perpajakan (2022) menyampaikan bahwa digitalisasi sistem pajak melalui implementasi core tax administration system (CTAS) dan integrasi data antarinstansi dapat memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan. Uji coba sistem tersebut menunjukkan peningkatan rasio pelaporan SPT Tahunan serta peningkatan pelacakan transaksi ekonomi digital.

Dalam rentang 2023 hingga 2025, pendekatan keadilan fiskal di berbagai negara mencerminkan perbedaan strategi dan keberanian dalam memperluas basis pajak.

Di Indonesia, pemerintah tetap bertumpu pada pendekatan administratif konvensional yang memusatkan perhatian pada wajib pajak formal. Meskipun data DJP menunjukkan pertumbuhan penerimaan pajak tahunan sebesar 8–10 persen, basis pajak tidak meluas signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa tambahan penerimaan lebih banyak berasal dari peningkatan kepatuhan wajib pajak lama, bukan dari penambahan entitas baru ke dalam sistem.

Sebaliknya, Australia mengambil langkah lebih agresif. Melalui lembaga Australian Taxation Office (ATO), mereka melakukan audit terhadap perusahaan besar dan memperketat penegakan hukum. Pada 2024, ATO berhasil memperkirakan potensi penerimaan tambahan sebesar AUD 10 miliar melalui penyelesaian sengketa pajak korporasi. Pendekatan ini menunjukkan bahwa penegakan hukum yang kuat terhadap elite ekonomi dapat menjadi instrumen efektif dalam menciptakan keadilan fiskal.

Brasil bahkan melangkah lebih jauh dengan mengusulkan penerapan pajak global atas kekayaan individu super kaya. Usulan ini disuarakan dalam forum G20 dan didukung oleh negara-negara berkembang lainnya. Jika direalisasikan secara global, kebijakan ini berpotensi menghasilkan 2,1 triliun dolar AS per tahun yang dapat digunakan untuk mendanai layanan publik dan mengurangi ketimpangan antarnegara.

Dari ketiga negara ini, terlihat bahwa keberhasilan dalam menciptakan keadilan fiskal tidak semata ditentukan oleh instrumen pajak yang digunakan, tetapi lebih pada keberanian politik dan kesiapan administrasi untuk menerapkan kebijakan secara luas dan merata.

Baca juga: Insentif pajak untuk stabilitas ketenagakerjaan sektor padat karya

Untuk keluar dari paradigma “berburu di kebun binatang”, Indonesia perlu menerapkan reformasi menyeluruh dalam strategi pemungutan pajak.

Reformasi tersebut mencakup ekstensifikasi basis pajak secara digital dan inklusif dengan mengembangkan integrasi data antara Ditjen Dukcapil, OJK, BPS, dan instansi lainnya untuk mengidentifikasi entitas ekonomi yang belum terdaftar sebagai wajib pajak. Digitalisasi harus menjangkau pelaku usaha daring, sektor informal perkotaan, serta individu dengan penghasilan tinggi yang belum terlaporkan.

Kemudian, penerapan sistem pajak progresif dan kombinatif melalui pengenaan pajak kekayaan dan pajak konsumsi secara selektif. Hal ini dapat membantu menciptakan distribusi beban pajak yang lebih adil. Misalnya, pajak progresif atas properti mewah, kendaraan premium, dan transaksi aset digital bisa menjadi alternatif pembiayaan pembangunan.

Pemerintah juga perlu melakukan penguatan kapasitas administratif DJP dengan melakukan audit berbasis risiko, pelatihan sumber daya manusia, dan teknologi berbasis kecerdasan buatan perlu diadopsi untuk meningkatkan akurasi dan efisiensi pemungutan pajak. DJP juga perlu memperluas jaringan penyuluh pajak hingga ke level kelurahan dan desa.

Reformasi juga dilakukan dengan menjalin kerja sama internasional dan transparansi global dengan jalan Indonesia aktif dalam forum perpajakan global untuk mendorong transparansi lintas negara dan pertukaran informasi otomatis. Selain itu, mendukung inisiatif pajak minimum global dan pajak atas orang super kaya adalah langkah menuju kesetaraan fiskal dunia.

Praktik “berburu di kebun binatang” yang selama ini dilakukan oleh DJP menunjukkan bahwa sistem perpajakan Indonesia masih terlalu bergantung pada kelompok wajib pajak yang mudah dijangkau.

Belajar dari pengalaman negara lain, terbukti bahwa keberanian untuk menindak elite ekonomi dan menerapkan pajak atas kekayaan dapat memberikan hasil signifikan bagi keadilan fiskal dan penerimaan negara.

Reformasi ke depan harus menitikberatkan pada perluasan basis pajak melalui digitalisasi, penerapan sistem progresif, serta peningkatan kapasitas administrasi. Hanya dengan cara ini Indonesia dapat keluar dari praktik sempit dan mewujudkan sistem perpajakan yang adil, berdaya saing, dan berkelanjutan.

Baca juga: Setoran pajak sektor digital capai Rp2,59 triliun per Maret 2025

*) Dr Lucky Akbar SSos MSi adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.