Beijing (ANTARA) - Bagaimana pergerakan monsun musim panas Asia Selatan, yang mendatangkan sekitar 80 persen curah hujan tahunan di kawasan ini, akan berubah di tengah situasi pemanasan global?

Model-model iklim memproyeksikan adanya peningkatan curah hujan, namun secara paradoksal sirkulasi atmosfer lebih lemah, sebuah fenomena yang telah lama membingungkan para ilmuwan.

Sebuah studi baru yang diterbitkan di jurnal Nature mengangkat periode hangat purba Bumi untuk membantu menjelaskan bagaimana pola monsun dapat berevolusi.

Penelitian yang dipimpin oleh tim ilmuwan dari Institute of Atmospheric Physics (IAP) di bawah naungan Akademi Ilmu Pengetahuan China (Chinese Academy of Sciences/CAS) ini menganalisis enam skenario iklim, mulai dari zaman pertengahan Pliosen, yang terjadi 3,3 juta hingga 3 juta tahun yang lalu, hingga proyeksi emisi tinggi pada tahun 2071 hingga 2100 mendatang.

Dengan mengintegrasikan simulasi iklim multimodel dengan catatan geologi, tim tersebut menemukan tren yang konsisten, yakni curah hujan monsun cenderung meningkat secara keseluruhan, sementara sirkulasi melemah di Teluk Benggala namun menguat di Laut Arab bagian utara.

Yang terpenting, penelitian ini menghubungkan masa lalu dan masa depan dengan menunjukkan bahwa mekanisme ini beroperasi secara serupa di seluruh interval iklim hangat, yang berbeda terutama dalam skala waktu.

Hal ini memungkinkan para peneliti untuk membangun model berbasis fisika yang secara akurat dapat memproyeksikan pola musim hujan di masa depan.

"Temuan kami menggarisbawahi nilai dari data paleoklimatologi dalam menyempurnakan proyeksi salah satu sistem iklim yang paling penting di Bumi, dengan implikasi yang mendalam untuk keamanan sumber daya air dan perencanaan adaptasi iklim di Asia Selatan," ujar Zhou Tianjun, seorang profesor di IAP.


Penerjemah: Xinhua
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.