Jakarta (ANTARA) - Eskalasi konflik antara India dan Pakistan dapat berdampak terhadap kinerja ekspor komoditas minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) Indonesia, kata Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro dalam webinar Mandiri Macro and Market Brief Indonesia Economic Outlook Q2 2025 di Jakarta, Senin

Ia mengatakan dua negara tersebut merupakan salah satu mitra ekspor utama, dengan India menyumbang 14,8 persen dan Pakistan 10,5 persen dari total ekspor CPO Indonesia, sehingga memburuknya konflik tersebut dapat memengaruhi kestabilan permintaan dari kedua negara.

“Jadi ada 20, hampir 25 persen dari CPO kita di ekspor ke kedua negara tersebut. Tentu saja, kalau konfliknya semakin memburuk akan berdampak kepada permintaan dari kedua negara tadi terhadap ekspor CPO kita,” kata Andry Asmoro.

Ia berharap kedua negara dapat melakukan rekonsiliasi dalam waktu dekat, sehingga tidak menambah tantangan geopolitik yang dapat memperburuk kondisi perekonomian global.

Baca juga: BPDP optimalkan teknologi untuk wujudkan industri sawit berkelanjutan

“Kalau kita lihat dalam beberapa hari terakhir perkembangannya juga cukup positif karena kedua negara tersebut melakukan gencatan senjata dan saya lihat sih akan terjadi rekonsiliasi juga di sini,” ujarnya.

Selain dampak dari ketegangan India-Pakistan, ia menyatakan bahwa pemerintah Indonesia juga harus tetap mewaspadai dampak penerapan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat serta perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang mengakibatkan banyak negara mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2025.

Andry menyatakan bahwa sebenarnya Indonesia tidak banyak terdampak secara langsung dari kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat karena kontribusi ekspor yang kecil terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, yakni sebesar 2,2 persen.

Ia menuturkan bahwa 52-54 persen PDB Indonesia ditopang oleh konsumsi masyarakat dalam negeri. Namun, Indonesia tetap harus mewaspadai dampak lanjutan (spillover) dari perang dagang tersebut.

Akibat perang dagang tersebut, banyak negara mengalami penurunan proyeksi ekonomi, termasuk Indonesia yang diperkirakan hanya akan tumbuh 4,7 persen pada tahun ini menurut International Monetary Fund (IMF).

Andry mengatakan bahwa perang dagang tersebut dapat menurunkan permintaan ekspor Indonesia ke China, yang kini mencapai 22,1 persen dari total ekspor nasional, terutama komoditas batu bara dan CPO.

Baca juga: PT Aneka Sawit Lestari kenalkan benih unggul sawit DxP iCalix

Ia menyatakan bahwa perang dagang tersebut juga dapat mengancam industri manufaktur domestik, mengingat tarif impor yang tinggi membuat China berupaya untuk diversifikasi ekspornya ke berbagai negara selain Amerika Serikat, termasuk Indonesia.

"Kalau ternyata yang masuk (diimpor dari China) adalah barang-barang akhir (produk jadi) yang bisa bersaing kemudian dengan produk-produk dari domestic manufacturers (produsen dalam negeri) di Indonesia, terutama yang industri padat karya, ini yang kita lihat jadi tantangan berikutnya dari trade war (perang dagang),” imbuhnya.

Pewarta: Uyu Septiyati Liman
Editor: Zaenal Abidin
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.