Jakarta (ANTARA) - Anggota Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) harus menjawab persoalan mendasar dalam praktik peradilan pidana di Indonesia.

“Pembaruan ini harus menjawab persoalan mendasar dalam praktik peradilan pidana Indonesia yang selama ini rentan mengabaikan prinsip due process of law (proses hukum yang adil), presumption of innocence (praduga tak bersalah), dan perlindungan hak-hak kelompok rentan,” kata Atnike dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

Ia menjelaskan salah satu rekomendasi Komnas HAM dalam kajian RUU KUHAP pada tahun 2023, yaitu perlunya kajian lebih mendalam untuk memperbaiki muatan RUU KUHAP. Pada tahun ini, Komnas HAM kembali melanjutkan kajian RUU tersebut dan berfokus pada perkembangan peraturan pidana.

Dalam kajian yang tengah disusun, kata Atnike, terdapat sejumlah pokok pengaturan peradilan pidana yang menjadi atensi dan diusulkan untuk diubah, yakni penyelidikan, penyidikan, upaya paksa, dan praperadilan.

Baca juga: Komisi III DPR ajak berbagai pihak ikut beri masukan penyusunan RKUHAP

Kemudian, keadilan restoratif, hak-hak tersangka, terdakwa, saksi, ahli, dan korban, hak-hak kelompok disabilitas, perempuan, dan lansia, bantuan hukum, upaya hukum serta pembuktian dan konektivitas.

“Melalui kajian ini diharapkan dapat menjadi rujukan oleh DPR RI untuk mengidentifikasi berbagai tantangan serta merumuskan rekomendasi yang konstruktif dalam pembaruan hukum acara pidana berbasis HAM,” ucap Atnike.

Komnas HAM menyambut baik langkah DPR RI untuk membahas KUHAP baru secara tidak tergesa-gesa. Langkah ini dinilai sejalan dengan prinsip negara hukum demokratis, sekaligus menjadi bagian penting dari upaya demokratisasi hukum dan penguatan sistem peradilan pidana yang menjunjung tinggi prinsip HAM.

KUHAP Tahun 1981 yang berlaku saat ini masih berlandaskan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama. Penyesuaian dinilai perlu dilakukan mengingat telah disahkannya KUHP baru pada 2023, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP.

“Diperlukan penyesuaian agar aturan prosedural dalam KUHAP selaras dengan substansi dalam KUHP baru. Terlebih, KUHAP 1981 dirasa tidak dapat lagi mengikuti perkembangan masyarakat yang dinamis karena perkembangan dan pengaruh teknologi,” kata Atnike.

Baca juga: Menkum sebut tidak banyak perubahan tupoksi APH di revisi KUHAP

Baca juga: Komisi III DPR sepakat tunda pembahasan RKUHAP pada masa sidang ini

Komnas HAM juga menilai pembaruan KUHAP merupakan momentum untuk membangun sistem peradilan pidana yang lebih adil, akuntabel, transparan, dan humanis, sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 dan instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia.

“Hukum acara pidana yang baru harus dapat menjamin hak semua pihak dalam proses pidana, baik tersangka, terdakwa, korban, saksi, maupun kelompok rentan seperti perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan lansia,” katanya.

Oleh sebab itu, Komnas HAM berkomitmen memberikan kontribusi berbasis data, analisis hukum, dan prinsip-prinsip HAM agar RUU KUHAP dapat menjadi instrumen hukum yang tidak hanya prosedural, tetapi juga transformatif.

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Rangga Pandu Asmara Jingga
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.