Jakarta (ANTARA) - Katim Pencegahan Densus 88 Anti Teror Mabes Polri Kompol Agus Isnaini menegaskan salah satu pemicu utama radikalisasi pelaku teror bukan semata aspek agama atau ideologi keagamaan, tetapi faktor luka psikis dan bullying di lingkungan sekolah.
Dia menjelaskan dari kasus yang ditangani di daerah Garut, Jawa Barat, banyak pelaku teror justru bermula dari persoalan personal yang bersifat emosional, seperti sakit hati akibat hubungan pacaran yang bermasalah.
“Siswa kami ada yang pacaran, lalu pacarnya berkhianat dengan pacar lain. Akibatnya dia sakit hati, mengurung diri, dan lebih aktif di media sosial. Setahun kemudian, dia sudah merencanakan aksi ke Suriah,” kata Agus dalam kegiatan bedah film "Kembali ke Titik" di Perpusnas RI, Jakarta, Selasa.
Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa radikalisasi sering kali dipicu oleh rasa kecewa, sakit hati, dan bullying di sekolah. “Yang menciptakan teror ini bukan harus agamanya, tidak harus Islamnya, tapi lebih karena sakit hati dan bullying di lingkungan sekolah,” ujarnya.
Baca juga: Polri: Penguatan keluarga dan sekolah putus rantai radikalisme
Baca juga: BNPT: Peran aktif masyarakat garda terdepan mitigasi paham radikal
Ia pun memberikan anekdot sederhana terkait pengaruh narasi yang mudah diterima anak-anak zaman sekarang.
“Pak guru pernah bilang kalau pacaran bajunya harus dimasukkan ke celana, satu anak melepas bajunya dan memasukkannya ke celana. Ini jadi contoh betapa cepatnya anak-anak menerima informasi yang menurut mereka logis tanpa mempertanyakan lebih jauh,” tambah Agus.
Agus menegaskan pentingnya peran guru dan sekolah dalam mengenali tanda-tanda perubahan perilaku siswa yang terpapar radikalisasi.
“Biasanya mereka mulai menarik diri dari kehidupan sosial, menggunakan narasi-narasi kekecewaan dan keputusasaan, serta bahasa-bahasa yang menuntut keadilan seperti ‘ini tidak adil’, ‘ini tidak seharusnya terjadi’,” jelasnya.
Dia menilai pendekatan personal dan persuasif sangat dibutuhkan untuk mengembalikan anak-anak didik agar tidak terjerumus dalam paham radikal. Pendekatan ini perlu melibatkan seluruh lapisan masyarakat, termasuk keluarga dan stakeholder pendidikan, untuk memutus rantai radikalisasi sejak dini.
Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: Rangga Pandu Asmara Jingga
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.