Jakarta (ANTARA) - Haji merupakan ibadah dengan penyelenggaraan paling rumit di dunia. Ia dilaksanakan dalam ruang terbatas dan waktu yang sempit.
Di saat yang sama, ibadah ini melibatkan jutaan manusia yang datang dari seluruh penjuru dunia.
Tahun 2025 diperkirakan lebih dari 1,83 juta muslim akan berkumpul dan bergerak dalam waktu yang sama di Masjidil Haram, Arafah, Muzdalifah dan Mina, Kota Makkah, Arab Saudi, untuk menjalankan rukun dan wajib haji.
Masalahnya, rukun dan wajib haji baru dinyatakan sah, jika dan hanya jika dilakukan di tempat-tempat tertentu. Thawaf mengitari Kakbah sah jika dilakukan di Masjid Haram. Wukuf hanya dapat dilakukan di Arafah, pada 9 Dzulhijah dari tergelincir matahari hingga terbenam matahari. Sai harus dilakukan di lintasan bukit Sofa dan Marwa.
Sementara wajib haji, seperti bermalam di Muzdalifah, mabit di Mina, serta melempar jumrah harus dilaksanakan secara simultan pada 10 Dzulhijah dan hari tasyrik, yakni tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijah, juga di area yang terbatas.
Secara keseluruhan ritual haji harus dilakukan dalam waktu kurang dari seminggu. Inilah yang membuat ritual haji sangat menguras tenaga dan emosi para jamaah.
Dengan kompleksitas itu, manajemen penyelenggaraan haji menjadi sangat rumit dan membutuhkan kerja dengan ketelitian dan presisi yang tinggi. Semua negara yang terlibat dalam pelaksanaan haji, baik pemerintah Arab Saudi maupun negara-negara yang memberangkatkan jamaahnya ke Tanah Suci, akan menghadapi tantangan yang berat.
Sebagai salah satu dari lima rukun Islam, berhaji merupakan impian bagi 2,04 miliar muslim dari seluruh penjuru dunia, tak terkecuali para penyandang disabilitas.
Indonesia, yang pada tahun ini menjadi kontingen terbesar jamaah haji, akan memberangkatkan 221 ribu jamaah, dan 513 di antaranya adalah penyandang disabilitas.
Sejak beberapa tahun lalu, Pemerintah Indonesia berupaya keras untuk memperhatikan jamaah haji yang perusia lanjut dan penyandang disabilitas. Tahun 2025 ini, Kementerian Agama bahkan mencanangkan tema khusus "haji ramah lansia dan disabilitas."
Namun bagaimana implementasinya pada 2025 ini?
Pada musim haji 2025, Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia untuk pertama kalinya, menggandeng penyandang disabilitas sebagai petugas haji pada musim haji.
Dua komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND), Dante Rigmalia dan Deka Kurniawan, turut serta menjadi petugas haji yang memberikan pendampingan kepada jemaah penyandang disabilitas.
Dante yang juga seorang penyandang disabilitas mengapresiasi langkah Kemenag yang telah memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan haji.
Sebagai langkah awal, menurut Dante, Kemenag cukup positif untuk memperhatikan jaminan hak-hak beribadah para difabel, yang sejatinya merupakan amanat Undang-Undang No 8 Tahun 2016, tentang pemenuhan hak penyandang disabilitas.
Ketua PPIH Arab Saudi, Muchlis M. Hanafi menyebut kesertaan jamaah disabilitas dan lansia adalah sumber keberkahan ibadah haji.
"Pelayanan terbaik bagi jemaah haji lansia dan penyandang disabilitas merupakan sumber keberkahan, mereka duafa, karena memiliki keterbatasan dan memerlukan dukungan dari sekitarnya," ucapnya.
Jadi sangat penting bagi pemerintah untuk memberikan perhatian khusus terhadap dua kelompok rentan ini.
Dalam hal apa saja mestinya perhatian terhadap kelompok disabilitas dilakukan? Semestinya dalam setiap tahapan pelaksanaan haji, dari mulai pengaturan kuota, pendaftaran, pemeriksaan sebelum keberangkatan, penampungan di asrama haji, keberangkatan, saat peribadatan di Tanah Suci, hingga kepulangan di Tanah Air.
Dalam soal kuota khusus bagi penyandang disabilitas, sejauh ini pemerintah memang belum memberikannya. Mungkin karena penyandang disabilitas yang hendak berhaji jumlahnya juga masih sangat kecil. Namun pemberian kuota khusus, sebagaimana dinyatakan Dante, tetap penting untuk dilakukan.
Kemampuan kaum disabilitas membayar biaya haji umumnya lebih lambat ketimbang masyarakat pada umumnya. Jikalau jamaah umum saja harus menunggu belasan tahun dan baru dapat berhaji di usia lanjut, maka kalau tidak ada afirmasi, keberangkatan jamaah kelompok disabilitas bakal lebih lama, dan usia mereka juga makin renta lagi.
Jika jamaah umum yang lanjut usia saja sudah sangat berat mengikuti proses peribadatan haji, apalagi bagi jamaah penyandang disabilitas sekaligus lanjut usia.
Salah satu jamaah difabel, Tini Wardi, yang ANTARA temui saat di Madinah Al Munawaroh, menyatakan, pemerintah hendaknya mengupayakan langkah-langkah lebih serius untuk menjamin hak beribadah haji kaum disabilitas.
Tini mengungkapkan pengalamannya saat hendak berangkat ke Tanah Suci. Ia mengalami sejumlah hambatan, saat melakukan pendaftaran di Bandung dan berada di asrama haji.
Tini, yang kakinya lumpuh akibat serangan virus polio ketika berusia dua tahun, menilai dukungan fasilitas bagi penyandang disabilitas fisik seperti dirinya masih minim.
Di Asrama haji, ia masih bergabung bersama dengan jamaah umum, di mana sarana MCK-nya belum ramah disabilitas, sehingga ia masih harus merangkak saat hendak mengakses kamar mandi. Ia juga hanya diperkenankan membawa satu alat bantu saja saat hendak terbang ke Tanah suci. Ia juga sempat dipisahkan dari suaminya, saat proses penerbangan dan di bandara, padahal ia membutuhkannya sebagai pendamping disabilitas.
"Jadikanlah tagline, 'haji yang ramah lansia dan disabilitas', lebih nyata dirasakan kami," kata Tini. Bagaimanapun, Tini tetap bersyukur bahwa akhirnya ia bisa berangkat ke Tanah Suci dan menjalankan rukun Islam kelima yang sudah 13 tahun diimpikannya. Ia berjanji akan memanjatkan doa-doa terbaik bagi teman-teman disabilitasnya, agar dapat berhaji seperti dirinya.
Perubahan cara pandang
Implementasi haji ramah disabilitas, sebenarnya bukan sekadar pemenuhan fasilitas fisik saja, melainkan perlunya perubahan cara pandang (mind set) penyelenggara dan petugas haji terhadap kaum disabilitas, terutama disabilitas yang tidak kasat mata, seperti disabilitas sensorik, intelektual dan mental
Kebutuhan pendampingan bagi jamaah disabilitas bisu-tuli, jamaah dengan gangguan mental, ataupun tuna netra, masih jauh dari memadai.
Idealnya petugas haji yang direkrut untuk kebutuhan para difabel memahami dan terlatih untuk melayani mereka sesuai dengan tingkat disabilitasnya. Seharusnya juga, petugas haji yang mendampingi jamaah tuna rungu, dapat memahami bahasa isyarat dengan tingkat yang memadai.
Demikian juga petugas untuk jamaah dengan kesehatan mental, mereka harus bisa menjadi pendamping yang baik dan menenangkan, ketika jamaah dengan disabilitas mental mengalami serangan panik.
Para petugas haji pendamping bukan hanya perlu ketahanan fisik untuk siap melayani, tapi mereka juga harus siap secara mental untuk melayani para disabilitas. Keterampilan mereka dalam pendampingan dan perspektif disabilitas ini yang belum dipenuhi pemerintah.
Pelibatan Komisi Nasional Disabilitas (KND) dalam penyelenggaraan haji kali ini sangat diapresiasi, karena ia dapat memberikan edukasi kepada para petugas terkait pelayanan disabilitas, dengan spektrum disabilitas yang beragam.
Kehadiran petugas haji dari kelompok disabilitas sebagai bagian PPIH 2025, seperti Dante dan Deka Kurniawan diharapkan dapat memberikan perspektif kepada petugas terkait pelayanan bagi disabilitas.
Muchlis Hanafi juga sangat mengharapkan kehadiran KND dapat memperkuat inklusifitas layanan haji Indonesia yang ramah lansia dan disabilitas.
Haji para disabilitas
Upaya signifikan dalam mewujudkan haji ramah disabilitas dan lansia adalah dengan penerapan skema Murur, Safari Wukuf, dan Tanazul dalam pelaksanaan puncak haji bagi jamaah haji yang sakit, lansia, dan difabel.
Murur merupakan inovasi pergerakan jamaah saat puncak ibadah haji, di mana jamaah yang memiliki keterbatasan fisik, setelah wukuf di Arafah selesai langsung diangkut menuju Mina, tanpa harus mabit atau bermalam di Muzdalifah.
Skema tanazul juga merupakan upaya meningkatkan kenyamanan jamaah, di mana jamaah haji tidak perlu harus menginap di tenda-tenda di Mina, melainkan dapat tinggal di hotel dekat jamarat, atau area melempar jumrah. Hal ini dilakukan demi mengurangi kepadatan saat mabit di Mina.
Sedangkan safari wukuf, adalah upaya memperjalankan jamaah yang sedang sakit agar tetap bisa melaksanakan wukuf di Arafah dengan mengangkutnya di dalam ambulans yang dilengkapi peralatan medis.
Penerapan skema tersebut tentu saja akan memudahkan para lansia, difabel, dan jamaah yang sakit dapat berhaji meskipun dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada.
Tentu masih banyak ekspektasi yang diharapkan komunitas disabilitas dalam mewujudkan penyelenggaraan haji yang lebih inklusif dan ramah difabel, bukan saja penyiapan layanan yang bersifat fisik, tapi juga penyiapan sumber daya manusia petugas dan penyelenggara haji yang selaras kebutuhan jamaah disabilitas.
Masih perlu lebih banyak ikhtiar dari pemerintah agar para penyandang disabilitas mendapatkan hak-hak beribadah dengan baik.
Copyright © ANTARA 2025