Jakarta (ANTARA) - Sejak April 2024, pemberitaan tentang organisasi kemasyarakatan (ormas) kembali mendominasi ruang digital. Kata kunci yang beredar --premanisme ormas, pembubaran ormas, bentrokan dengan aparat, hingga silang pendapat di antara jenderal dan politisi-- menghasilkan atmosfer diskursif yang bising dan cenderung negatif.
Ormas dengan cepat dipersepsi sebagai kelompok pengganggu ketertiban, ancaman kenyamanan publik, bahkan simbol kekerasan yang mendominasi ruang sosial. Narasi-narasi ini diperkuat oleh logika viralitas media digital yang kerap menyederhanakan kompleksitas realitas sosial dalam dikotomi hitam-putih.
Padahal, realitas keberadaan ormas jauh lebih kaya dan strategis dalam konteks demokrasi serta pembangunan sosial.
Dalam perspektif Ilmu Komunikasi, ormas bukan sekadar entitas sipil, melainkan aktor komunikasi yang sah dan berdaya dalam mengartikulasikan kepentingan publik. Mereka menjadi kanal komunikasi antara negara dan masyarakat, memainkan peran penting dalam menyampaikan aspirasi, mengkritisi kebijakan, dan memperkuat modal sosial di tingkat akar rumput.
Sesuai definisi UU No. 17 Tahun 2013, ormas adalah organisasi yang dibentuk secara sukarela berdasarkan kesamaan kehendak dan aspirasi demi tujuan bersama dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut data Kementerian Dalam Negeri per 5 Maret 2024, terdapat lebih dari 554.000 ormas di Indonesia. Dari jumlah tersebut, hanya 1.530 yang memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), sementara lebih dari 553.000 lainnya telah berbadan hukum.
Ormas hadir dalam berbagai bentuk: keagamaan, kultural, lingkungan, pendidikan, advokasi, hingga kemanusiaan. Banyak di antaranya yang bekerja secara senyap di tingkat RT, RW, hingga dusun dan komunitas adat, berkontribusi langsung dalam kehidupan sosial warga, meskipun tanpa liputan media.
Dengan memahami ormas sebagai ekspresi komunikasi kolektif, maka ormas sesungguhnya adalah forum negosiasi identitas, saluran partisipasi warga, sekaligus alat kontrol sosial terhadap kekuasaan.
Namun, problem besar di era digital adalah ketika media hanya menampilkan sisi konflik, bukan kontribusi ormas. Ini adalah tantangan epistemologis hari ini, potensi pengetahuan publik dibentuk lebih banyak oleh frekuensi, bukan oleh kedalaman dan keragaman wacana.
Dalam konteks komunikasi publik, ormas memiliki posisi yang strategis. Ilmu Komunikasi menekankan bahwa keberhasilan komunikasi bukan hanya ditentukan oleh sejauh mana pesan dikirimkan, tetapi oleh sejauh mana pesan tersebut menciptakan respons yang tepat dari penerima.
Di dalam sistem politik dan birokrasi, komunikasi cenderung bergerak secara vertikal, dari atas ke bawah atau top-down. Ketika tidak tersedia ruang yang memungkinkan suara masyarakat naik ke atas (bottom-up), maka kekosongan komunikasi itu menjadi sumber frustrasi hingga konflik.
Di sinilah ormas berperan sebagai jembatan penting dalam menyampaikan aspirasi masyarakat akar rumput kepada negara. Mereka dapat menerjemahkan bahasa kebutuhan warga ke dalam bentuk pesan kolektif yang lebih terstruktur.
Ketika ormas dianggap radikal, keras, atau bahkan anti-hukum, bisa jadi penyebabnya bukan pada niat mereka, tetapi karena komunikasi sebelumnya telah gagal menjangkau mereka secara inklusif dan konstruktif.
Dalam kajian stakeholder Mitchell, Agle, dan Wood (1997), konflik kerap muncul karena kegagalan pengirim pesan dalam mengenali atribut kekuasaan, legitimasi, dan urgensi dari penerima.
Dalam banyak kasus, atribut-atribut ini tidak selalu terlihat di awal, melainkan bersifat dorman dan baru muncul dalam situasi tertentu. Oleh karena itu, penting untuk memahami stakeholders’s salience —terutama ormas—agar komunikasi tidak gagal sejak dini.
Maka, untuk menggeser diskursus dari polarisasi menuju kolaborasi, ada beberapa hal yang perlu dilakukan.
Pertama, pemerintah dan sektor swasta perlu meriset pemetaan stakeholder secara lebih jernih dan terbuka. Ormas perlu dikenali bukan semata berdasarkan catatan konflik, melainkan juga melalui potensi dialog, jejaring sosial, dan kontribusinya terhadap masyarakat.
Penguatan komunikasi dua arah menjadi krusial. Ruang partisipasi tidak cukup hanya hadir saat krisis atau sebagai respons insidental. Forum mediasi, dialog multipihak, serta konsultasi publik berbasis wilayah perlu diaktifkan secara periodik, terutama menyangkut isu strategis seperti pembangunan, tata kelola sumber daya, dan kebijakan sosial.
Kedua, literasi media digital di kalangan ormas harus ditingkatkan. Beberapa konflik yang melibatkan ormas bermula dari ketidaktahuan dalam memanfaatkan media sosial, kesalahan memahami etika komunikasi digital, hingga menjadi korban disinformasi. Pelatihan literasi digital yang bersifat partisipatif dan berbasis komunitas akan membantu membangun kapasitas ormas dalam menyampaikan pesan mereka secara tepat dan produktif.
Ketiga, media, akademisi, dan tokoh masyarakat harus berperan menata ulang citra ormas. Praktik jurnalisme dan publikasi harus didorong untuk menampilkan kontribusi ormas yang bersifat membangun.
Prof. Mohammad Mulyadi (2012) mengkaji Dompet Dhuafa sebagai ormas yang secara mandiri membantu memberikan pelayanan kesehatan dan pendidikan pada masyarakat. Mantan Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Prof. Abdul Haris (2018) juga membuat puisi indah tentang dua ormas Islam terbesar di Indonesia NU dan Muhammadiyah. Ia menyebut NU dan Muhammadiyah sebagai ormas “pendiri negara Indonesia” dengan kontribusinya dalam pendidikan dan kesehatan, atau aksi kemanusiaan.
Para tokoh masyarakat perlu membangun narasi tandingan terhadap stereotip yang menyederhanakan atau negatif atas istilah “ormas”. Disonansi dari narasi yang konsisten negatif berpotensi menjadi nubuat yang dipenuhi sendiri oleh ormas.
Keempat, pendekatan komunikasi budaya menjadi kunci dalam menjalin relasi dengan ormas. Sebab, banyak ormas berdiri di atas fondasi nilai-nilai lokal, adat, atau keagamaan. Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang memahami konteks budaya lokal, cara bicara komunitas, simbol-simbol khas, bahasa serta nilai tertentu yang mereka anut. Pendekatan ini jauh lebih mengakar ketimbang sekadar menyampaikan instruksi administratif dari pusat kekuasaan.
Pada akhirnya, keberadaan ormas bukanlah persoalan yang harus dihindari, melainkan kesempatan strategis yang perlu dimanfaatkan dalam membangun demokrasi yang partisipatif.
Ormas adalah mitra dialog yang setara dalam menata ruang publik yang inklusif, adil, dan beradab. Ormas juga menjadi kanal penting dalam ekosistem komunikasi publik yang berfungsi sebagai penyeimbang arus informasi, penguat partisipasi warga, dan indikator kehidupan sipil yang sehat.
Menyederhanakan ormas hanya sebagai aktor kerusuhan adalah bentuk miskomunikasi struktural. Ilmu Komunikasi mengingatkan kita bahwa komunikasi gagal bukan semata karena pesan tidak tersampaikan, melainkan karena pengirim gagal memahami siapa penerimanya.
*) Dr. Reza Praditya Yudha adalah Kaprodi Ilmu Komunikasi (Kampus Kab. Penajam Paser Utara)-Univ. Gunadarma, Peneliti dan praktisi PR di Center for Public Relations, Outreach, and Communication (CPROCOM)
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.