Jakarta (ANTARA) - Dewan Pakar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Darmansjah Djumala melihat adanya relevansi antara Hari Kebangkitan Nasional dengan diplomasi Indonesia dalam menghadapi dinamika geopolitik global.
“Dengan diakuinya Pancasila dan Konferensi Asia Afrika oleh PBB-UNESCO sebagai Memory of the World pada Mei 2023, diplomasi Pancasila yang digaungkan Indonesia dapat menandai kebangkitan diplomasi nilai (gotong royong, musyawarah dan kemanusiaan) sebagai alternatif feature pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia," kata Djumala dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Hal tersebut disampaikannya usai kegiatan Sarasehan Kebangsaan yang diselenggarakan BPIP dan MPR RI dengan tema Memperkokoh Ideologi Pancasila untuk Menghadapi Dinamika Geopolitik Global di Gedung Nusantara IV MPR pada Selasa (20/5).
Sarasehan tersebut dimaksudkan untuk menyosialisasikan Pancasila di kalangan pejabat dan masyarakat Indonesia dalam menghadapi perubahan geopolitik global dan regional.
Terkait situasi geopolitik di kawasan Asia Pasifik, Djumala mengidentifikasi setidaknya ada empat dinamika geopolitik di Asia Pasifik yang dinilai akan mempengaruhi kebijakan luar negeri negara-negara di kawasan, seperti ASEAN, termasuk Indonesia.
Pertama, perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China diperkirakan akan menimbulkan disrupsi perdagangan dan mempengaruhi pola rantai pasok global (global supply chain).
Kedua, terbentuknya aliansi militer AUKUS (Australia, Inggris, AS), ketiga, kerja sama militer trilateral AS-Jepang-Filipina dan yang keempat, pembukaan kantor liason NATO di Tokyo yang akan mengoordinasikan kebijakan dan strategi militer NATO di Asia Pasifik bersama Jepang.
Djumala, yang pernah bertugas sebagai Duta Besar RI untuk Austria dan PBB, mengatakan tiga kerja sama militer di atas tidak ada lain tujuannya untuk menghadapi China yang menunjukkan sikap agresif di kawasan Laut China Selatan.
Dengan terbentuknya aliansi militer AS dengan sekutunya di Asia Pasifik diperkirakan rivalitas antara AS dan China semakin mengeras.
Menghadapi situasi seperti itu, Djumala mengingatkan Indonesia jangan sampai terjebak pada tarikan kepentingan kedua kekuatan itu, sehingga akan mencederai prinsip politik bebas-aktif.
Agar tidak larut dan hanyut rivalitas super power, Djumala mengusulkan agar Indonesia menjalankan “hedging strategy”, yaitu diplomasi yang memanfaatkan kekuatan kedua negara kuat itu sembari tetap menjaga kepentingan nasional. Indonesia, harus membangun kerja sama dengan kedua negara tersebut sesuai dengan kekuatan dan kelebihan mereka.
Jika China kuat di bidang ekonomi, Indonesia harus mengembangkan kerja sama ekonomi dengan China. Jika AS unggul di bidang politik-keamanan, Indonesia sebaiknya lakukan kerja sama militer dengan AS.
Djumala menilai diplomasi selama ini hanya dipahami dalam konteks “cash and carry exercise” dan transaksional-pragmatis.
Sarasehan menghadirkan tiga narasumber, yaitu Staf Khusus Menko Politik dan Keamanan Letjen (Purn) Yoedhi Swastanto, Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri Darmansjah Djumala dan Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha BUMN, Menko Perekonomian Ferry Irawan.
Acara tersebut dibuka oleh Ketua MPR Ahmad Muzani, dan Kepala BPIP Yudian Wahyudi. Sarasehan tersebut dihadiri oleh pejabat dari kementerian/lembaga pemerintah, para Gubernur, Bupati, anggota DPR, serta pejabat daerah, yang berjumlah lebih dari 600 orang dan lebih dari 1.000 orang dari seluruh Indonesia mengikuti jalannya sarasehan melalui live streaming.
Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Azhari
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.