Jakarta (ANTARA) - Pada 1 April 1933, siaran perdana yang dilakukan oleh Solosche Radio Vereeniging (SRV) menjadi tonggak penting dalam sejarah penyiaran di Indonesia.

SRV merupakan lembaga penyiaran pertama yang dimiliki oleh pribumi, didirikan oleh KGPAA Mangkunegoro VII, dengan fokus utama menyiarkan musik gamelan Jawa sebagai upaya pelestarian budaya Nusantara.

Karena perannya yang bersejarah, Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2019 menetapkan tanggal 1 April sebagai Hari Penyiaran Nasional. Penetapan ini mencerminkan besarnya peran industri penyiaran dalam pembangunan bangsa.

Kini, setelah 92 tahun berlalu, pertanyaannya adalah sejauh mana industri penyiaran nasional masih mampu berkontribusi dalam pembangunan nasional dan memperkuat demokrasi, sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045 sebagaimana tertuang dalam Asta Cita Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran?

Transformasi digital telah membawa dampak besar terhadap berbagai sektor, termasuk mengubah secara signifikan lanskap industri penyiaran nasional. Kekhawatiran pun muncul agar nasib penyiaran tidak mengalami kemunduran seperti yang telah terjadi pada industri media cetak, yang kini dianggap berada dalam fase senja.

Kekhawatiran ini menjadi tema utama dalam sejumlah diskusi yang berlangsung di berbagai forum pemangku kepentingan penyiaran selama beberapa tahun terakhir. Namun, diskursus saja ternyata belum cukup untuk merespons tantangan tersebut, sebab realitas menunjukkan bahwa kondisi industri penyiaran kian memprihatinkan. Dalam dua hingga tiga tahun terakhir, laporan mengenai pemutusan hubungan kerja di sektor ini menunjukkan tren peningkatan.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.