Jakarta (ANTARA) - Hutan bukan sekadar angka dan bentangan hijau di peta Indonesia. Hutan menjadi ruang hidup yang menyangga penghidupan jutaan masyarakat adat, petani hutan, dan kelompok-kelompok lokal termasuk perempuan dan anak, yang menggantungkan hidupnya pada alam.
Dalam satu dekade terakhir, pemerintah Indonesia menunjukkan komitmen terhadap pengelolaan hutan berbasis masyarakat melalui skema perhutanan sosial dan hutan adat.
Namun, pertanyaan mendasar masih menggantung: bagaimana menjembatani antara hak yang telah diberikan, dan kapasitas riil masyarakat untuk mengelola serta memperoleh manfaat nyata dari hutan?
Dari pertanyaan itulah, gagasan perlukah Indonesia memiliki Dana Perhutanan Sosial bagi dan dengan tata kelola yang memiliki daya lenting, menjadi penting.
Gagasan ini bukan tentang menambah struktur birokrasi. Sebaliknya, ini tentang menciptakan mekanisme pendanaan yang berpihak pada akar rumput. Mekanisme yang benar-benar dirancang untuk menjangkau, memperkuat, dan mendampingi kelompok-kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS), agar mereka tak hanya memegang izin, tetapi juga mampu bertahan dan tumbuh.
Saat ini, lebih dari 8,3 juta hektare hutan telah dikelola masyarakat melalui skema perhutanan sosial. Namun lebih dari 91 persen KUPS masih berada dalam kategori biru dan perak, menandakan bahwa mayoritas KUPS belum produktif secara ekonomi. Banyak dari mereka yang sudah memiliki legalitas, tetapi belum memiliki kemampuan teknis, kelembagaan yang kokoh, akses pasar, maupun permodalan yang layak.
Dalam konteks inilah Dana Perhutanan Sosial menjadi relevan untuk menjembatani jurang antara kebijakan dan kenyataan. Tapi tentu saja, gagasan ini tidak datang tanpa tantangan. Kita punya cukup banyak pelajaran dari pengalaman sebelumnya — salah satunya dari Dana Desa.
Dalam satu dekade terakhir, Dana Desa telah menjadi instrumen fiskal yang sangat besar. Namun besarnya dana yang diberikan tidak otomatis menghasilkan dampak yang setara. Politisasi anggaran, korupsi, tumpang tindih program, dan pelaporan yang lemah justru menggerus efektivitas Dana Desa. Jika Dana Perhutanan Sosial benar-benar ingin diluncurkan, maka pelajaran dari Dana Desa harus dijadikan cermin awal.
Para pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah daerah, donor internasional, hingga masyarakat sipil, tentu memiliki harapan yang realistis. Dana publik, seperti Dana Desa maupun Dana Perhutanan Sosial yang akan dimanfaatkan bagi pembangunan masyarakat, tentu penting untuk memiliki tata kelola yang terbuka dan akuntabel.
Adanya dewan pengarah lintas sektor — yang melibatkan unsur pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dan perwakilan kelompok masyarakat hutan itu sendiri, adalah langkah awal menuju kepercayaan publik.
Kesiapan penerima manfaat juga patut jadi perhatian. Banyak kelompok yang secara legal sudah memegang izin perhutanan sosial, namun belum siap menjalankan usaha secara produktif. Oleh karena itu, dukungan pra-investasi seperti pelatihan, penguatan kelembagaan, hingga penyusunan rencana usaha harus menjadi bagian integral dari mekanisme dana ini.
Transparansi dan pelaporan juga tak kalah penting dalam pengelolaan dana publik. Para donor dan mitra pembangunan kini berharap adanya pendekatan pelaporan yang lebih modern, berbasis hasil, dan terbuka bagi publik. Sistem pelaporan digital dengan indikator yang dapat diverifikasi bersama, tidak hanya oleh pemerintah tapi juga oleh komunitas, adalah salah satu harapan baru yang muncul. Sebab dalam pembangunan, kepercayaan adalah modal yang tidak bisa dibeli — kepercayaan harus dibangun.
Hal lain yang sering terabaikan adalah memastikan keberlanjutan. Banyak program berhenti begitu pendanaannya usai. Maka, perlu ada strategi yang memastikan kelompok-kelompok penerima manfaat bisa “lulus” dan mandiri. Akses ke pasar dan lembaga keuangan bagi kelompok penerima manfaat menjadi krusial. Program yang dijalankan harus mendorong berdirinya usaha yang bertahan bahkan bisa berkembang, bukan hanya proyek jangka pendek yang mati di tengah jalan.
Kita perlu memastikan gagasan Dana Perhutanan Sosial nantinya tidak tumpang tindih dengan skema yang sudah ada, seperti Dana Desa, Kredit Usaha Rakyat (KUR), program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) atau rencana pemerintah memberikan dana kepada Koperasi Merah Putih. Pemetaan menyeluruh dan pendekatan integratif dibutuhkan agar Dana Perhutanan Sosial hadir sebagai pelengkap — bukan pesaing — dari skema-skema yang sudah dan akan berjalan.
Potensi strategis perhutanan sosial untuk membangun kekuatan ekonomi lokal pun menjadi faktor penting yang perlu diperbincangkan dalam mempersiapkan pengelolaan Dana Perhutanan Sosial. Puluhan juta masyarakat tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan — wilayah yang kerap identik dengan kemiskinan ekstrem, ketimpangan pembangunan, dan keterisolasian layanan dasar.
Jika kelompok-kelompok ini diberi dukungan yang tepat, mereka bukan hanya akan menjadi pelaku konservasi, tetapi juga tulang punggung pertumbuhan hijau di tingkat tapak. Dengan pendekatan yang tepat, gagasan Dana Perhutanan Sosial bisa menjadi katalisator ekonomi desa berbasis keberlanjutan.
Mekanisme yang terencana, inklusif, dan bisa diukur dampaknya dalam pengelolaan Dana Perhutanan Sosial menjadi harapan para pemangku kepentingan. Mereka ingin memastikan bahwa setiap rupiah benar-benar sampai ke tangan yang tepat dan memberi manfaat yang adil. Dan itu semua dimulai dari rancangan kelembagaan yang benar.
Perlu ditegaskan, Dana Perhutanan Sosial ini belum ada. Ini adalah gagasan terbuka yang masih perlu diuji, dipertajam, bahkan mungkin dikritisi. Tapi gagasan ini tumbuh dari kebutuhan nyata — dari suara-suara di tapak hutan yang jauh dari pusat kota dan pemerintahan, dari kelompok-kelompok yang sudah lama menanti negara hadir bukan hanya lewat regulasi, tapi lewat dukungan yang bisa mereka rasakan.
Tentu ada risiko. Tapi setiap kebijakan transformatif selalu dimulai dari keberanian membayangkan apa yang belum ada.
Jika dirancang dengan cermat, Dana Perhutanan Sosial bisa menjadi salah satu instrumen penting untuk menjawab tiga krisis planet berupa perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati dan pencemaran lingkungan, memperkuat kesejahteraan rakyat, dan memastikan hutan Indonesia tetap lestari melalui tangan-tangan yang menjaganya setiap hari.
*) Dr. Abdul Wahib Situmorang, CEO CARE Indonesia
Copyright © ANTARA 2025