Jakarta (ANTARA) - Tanggal 27 Mei bukan sekadar penanda dalam kalender nasional. Ia adalah seruan yang menggema dari masa lalu menuju masa depan: Hari Jamu Nasional.

Dicanangkan sebagai hari jamu, pertama kali oleh Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, pada tahun 2008, momen ini hadir sebagai perlawanan budaya yang elegan terhadap derasnya arus globalisasi yang kerap mengikis kearifan lokal. Jamu, dalam konteks ini, tidak hanya dimaknai sebagai ramuan herbal, tetapi sebagai pusaka identitas, wujud dari relasi harmoni antara manusia, alam, dan ilmu pengetahuan.

Dalam denyut nadi peradaban Nusantara, jamu telah menjadi sahabat setia sejak abad ke-8 Masehi. Jejak tertulisnya muncul dalam Prasasti Madhawapura dari era Medang Mataram dan semakin diperkaya dalam Serat Centhini (1814) serta Kakawin Nagarakretagama dari zaman Majapahit. Di sana, kita temukan keberadaan acaraki, —para peramu jamu kerajaan—, yang meracik ramuan tidak hanya untuk menyembuhkan, tetapi juga untuk merawat jiwa, mengukuhkan status sosial, dan mengiringi ritus sakral kerajaan.

Para permaisuri Majapahit, misalnya, dikenal mengonsumsi Jamu Galian Singset, —campuran kencur (Kaempferia galanga), temulawak (Curcuma xanthorrhiza), dan kunyit (Curcuma longa)—, untuk menjaga kecantikan kulit dan stamina tubuh. Sementara itu, Jamu Lempuyang Wangi yang mengombinasikan Zingiber zerumbet dengan madu hutan dan air kelapa muda, digunakan oleh para punggawa istana untuk meningkatkan vitalitas.

Ramuan bukan sekadar campuran tanaman, tetapi bentuk kebijaksanaan ekologis, spiritualitas, dan ilmu pengetahuan empiris yang diwariskan lintas generasi.

Sebagai negeri megabiodiversitas, Indonesia menyimpan lebih dari 30.000 spesies tumbuhan, di mana sekitar 2.000 di antaranya berpotensi sebagai tanaman obat. Misalnya, Temulawak yang kaya akan xanthorrhizol dan kurkuminoid telah terbukti sebagai hepatoprotektor dan antiinflamasi. Ia bahkan diekspor ke Jepang sebagai suplemen pencernaan.

Sambiloto (Andrographis paniculata)—dengan senyawa andrographolide—terbukti menurunkan kolesterol dan menekan replikasi virus, termasuk SARS-CoV-2. Meniran (Phyllanthus niruri) menawarkan efek antivirus dan proteksi vaskular, sementara Kencur telah lama dikenal untuk mengatasi batuk dan meningkatkan stamina.

Namun, jamu tidak boleh tinggal dalam nostalgia. Seperti semboyan “tradisi yang bergerak”, jamu kini melangkah memasuki fase baru: Jamu 6.0. Ini bukan sekadar angka atau branding, melainkan sebuah paradigma transdisipliner yang menyatukan etnofarmakologi, nanoteknologi, imunologi, dan teknologi -omics (genomik, transkriptomik, proteomik, dan metabolomik). Dalam kerangka ini, tradisi tidak ditinggalkan, tetapi ditransformasikan melalui pendekatan ilmiah dan teknologi presisi.

Salah satu inovasi revolusioner adalah nanoherbalmedicine, —pengolahan senyawa aktif tanaman herbal ke dalam bentuk partikel nano (kurang dari 100 nanometer). Teknologi ini memungkinkan peningkatan bioavailabilitas (kemampuan senyawa untuk diserap tubuh), efektivitas terapi, dan kemampuan menembus penghalang biologis, seperti sawar darah-otak (blood-brain barrier/BBB).

Contohnya, Kurkumin Nano dari kunyit, kini mampu digunakan dalam terapi neurodegeneratif. seperti Alzheimer dan Parkinson. karena dapat mencapai jaringan otak yang sebelumnya sulit dijangkau.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.