Makkah, Arab Saudi (ANTARA) - Pada satu sore di teras halaman rumah dinasnya yang asri di bilangan Brawijaya IX, Wakil Menteri Agama, R Muhammad Syafi'i, menceritakan kembali kisah klasik haji mabrur paling populer sepanjang masa, kisah haji tukang sol sepatu dari Damaskus, Ali bin Al Muwaffaq.

Ringkas kisahnya begini: Ali bin Al Muwaffaq, tukang sol sepatu miskin di sebuah pasar di Damaskus, selama puluhan tahun telah menabung demi cita-cita berhaji. Saat tabungannya cukup, ia bersiap berangkat ke Makkah. Namun, beberapa hari sebelum keberangkatan, ia mendengar tangisan tetangganya, seorang janda miskin yang anak-anaknya kelaparan.

Ali tertegun, namun dengan keikhlasan yang tinggi, Ali segera memutuskan untuk menyerahkan seluruh tabungan hajinya demi memberi makan keluarga itu. Ia berkata, “Aku titipkan niat hajiku kepada Allah.” Lantas ia batal berangkat haji.

Selepas musim haji dan jamaah haji pulang ke Damaskus, beberapa jamaah mengaku melihat Ali di Tanah Suci, sungguhpun Ali tidak pernah meninggalkan Damaskus.

Kisah Ali ini sampai ke telinga Imam Ibn Asakir. Ketika sang Imam bertanya kepada Ali, Ali menjawab bahwa ia tidak pernah pergi, ia hanya berserah kepada Allah.

Malam harinya, Imam Ibn Asakir bermimpi, mendengar firman Allah, “Ali datang ke rumah-Ku dengan hatinya. Aku utus malaikat-Ku untuk berhaji atas namanya, dan hajinya Aku terima sebagai haji mabrur.”

Ali bin Al Muwaffaq mengajarkan, kemuliaan ibadah tak selalu terlihat oleh mata manusia, tapi sangat nyata di hadapan Allah. Kisah ini pun tersebar, menjadi pelajaran abadi tentang keikhlasan, pengorbanan, dan hakikat ibadah yang sejati.

Kisah yang dikutip dari kitab An-Nawadir karya Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah Al Qulyubi, diceritakan kembali oleh Romo, panggilan akrab Muhammad Syafi'i, sebagai pengingat kepada para petugas haji agar mereka belajar tentang ketulusan dan pengorbanan saat melayani tamu Allah.

Romo mengingatkan pada para petugas haji. Haji bagi petugas haji berbeda dengan jamaah haji. Tugas utama petugas haji adalah berkhidmat melayani tamu Allah. Jadi menurut Romo, seburuk-buruk petugas adalah mereka yang melalaikan tugas melayani tamu Allah demi mengejar ibadah ritual. "Bukan saja mereka akan dikutuk jamaah, Allah juga pasti mengutuknya. Luruskan niat untuk berkhidmat melayani tamu Allah."

Berbagai pandangan tentang haji mabrur sebenarnya telah menjadi perbincangan lama oleh para ulama, cendekiawan, maupun para sosiolog agama. Perbincangan itu masih terjadi hingga kini, terutama jika kemabruran haji seseorang dikaitkan bukan hanya dampak transformasi spiritual, namun juga implikasi moral dan sosial dari ibadah haji.

Pertanyaan apakah lebih 1,8 juta Muslim yang setiap tahun berkumpul di Tanah Suci untuk menunaikan Ibadah haji pasti akan memperoleh kemabruran itu? Tidak ada yang berani menjaminnya.

Ulama besar dan filsuf Islam abad ke-11, Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, memberikan beberapa pokok pikiran tentang hakikat kemabruran berhaji.

"Haji mabrur adalah puncak dari perjalanan spiritual menuju Allah, bukan hanya perjalanan fisik ke Makkah. Haji mabrur bukan dari megahnya perjalanan, tetapi dari suci dan lurusnya niat, bersihnya bekal, dalamnya penghayatan, dan nyata perubahan akhlak setelahnya."

Lurusnya niat merupakan bekal pertama dan utama. Haji yang mabrur harus berangkat dari niat yang ikhlas karena Allah. Al Ghazali mengecam orang yang berhaji karena ingin status sosial, gelar “haji”, atau sekadar kebanggaan duniawi. Haji seperti ini menurut dia adalah haji yang lahirnya ibadah tapi batinnya rusak.

Al-Ghazali juga sangat menekankan haji harus ditunaikan dengan harta halal. Harta yang haram atau subhat akan menodai seluruh ibadah.

Haji yang mabrur juga harus diikuti perubahan akhlak. Orang yang telah berhaji seharusnya meninggalkan perbuatan zalim dan maksiat. "Haji adalah pertaubatan yang hakiki."

Cendekiawan muslim M. Dawam Rahardjo (alm), dalam pengantar buku Makna Haji karya Ali Syariati menyatakan, tidak sedikit orang yang melaksanakan perjalanan haji, hanya sekedar melakukan tur yang menghasilkan kelelahan, berkurangnya harta dan --kalau beruntung-- sedikit nuansa sentimentil.

Sebabnya, mereka tidak memaknai perjalanan hajinya. Tidak dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari ibadah hajinya, untuk bisa diterapkan dalam kehidupan, sesuai dengan kehendakNya.

Peradaban dan keadaban

Tahun ini, jamaah calon haji yang berasal dari Indonesia untuk memenuhi panggilan Allah berjumlah 221 ribu orang. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang telah menunggu belasan bahkan puluhan tahun demi memenuhi kerinduan mereka mengunjungi Baitullah.

Mengingat berat dan lamanya perjuangan calon jamaah untuk beribadah haji, mengunjungi rumah Allah dan berziarah ke makam kekasihnya, Rasulullah SAW, Romo Muhammad Syafi'i berpesan agar jamaah dan petugas senantiasa memelihara keikhlasan dan terus berjihad agar semuanya dapat mencapai kemabruran.

"Allah akan tersenyum melihat kalian. Allah akan memuliakan orang tua kalian baik yang masih hidup maupun yang sudah berpulang. Balasan indah Allah akan menanti, jika kalian bisa menjaga niat dan keikhlasan. Belajarlah dari kisah Ali Al Muwaffaq," kata Romo.

Meskipun belum terlihat nyata, haji mabrur semestinya memiliki andil dalam membangun karakter, peradaban dan keadaban bangsa Indonesia.

Badan Penyelenggara Haji (BPH) Republik Indonesia bahkan merumuskan salah satu parameter sukses penyelenggaraan haji adalah sukses peradaban dan keadaban, di samping sukses ritual dan sukses ekosistem ekonomi haji.

Haji mabrur akan tercermin dari karakter jamaah haji yang menampilkan nilai-nilai kebersihan, ketertiban, toleransi, dan moderasi. Para haji mabrur ini diharapkan akan menjadi duta Islam karena pengalaman spiritual selama haji dapat meningkatkan kualitas kebangsaan dan memperkuat ukuwah Islamiyah, insaniyah, serta wathaniyah jamaah di tengah masyarakat.

"Kalau haji jamaah kita mabrur semestinya keadaan negeri kita membaik, karena kemabruran haji akan terefleksi pada perilaku jamaahnya yang lebih baik," kata Kepala BPH, Mochammad Irfan Yusuf

Jika hari ini, kita masih mendapati skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia baru 37 poin, atau masih diperingkat 99 dari 180 negara, mungkin karena bangsa ini belum dapat menggerakkan potensi jamaah untuk memperbaiki karakter bangsa.

Semestinya dengan semakin banyaknya haji mabrur di Indonesia, terutama para haji mabrur dari kalangan birokrat, aparat penegak hukum, dan pengusaha, mudah-mudahan karakter bangsa semakin kuat, dan budaya korupsi dapat terkikis. Harusnya demikian.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.