Jakarta (ANTARA) - Rumah susun (rusun) atau apartemen seharusnya menjadi solusi mengatasi permukiman padat di kota besar seperti Jakarta. Sayangnya beberapa rusun belum memberikan rasa aman dan nyaman bagi penghuninya terkait adanya konflik kepengurusan pemilik rusun.
Ada aturan bahwa rusun yang tingkat huniannya mencapai 50 persen maka pengurusannya wajib diserahkan dari pengembang kepada Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) . Namun kenyataannya proses peralihan tersebut terkadang tidak berjalan mulus bahkan diwarnai konflik yang berlarut-larut.
P3SRS bertanggungjawab untuk pemeliharaan dan keberlangsungan operasional rusun mulai dari kebersihan lingkungan, pemeliharaan taman, elevator, hingga pengamanan. Termasuk di dalam hal ini memungut iuran pemeliharaan lingkungan (IPL) dari penghuni.
Konflik yang terjadi biasanya terkait dengan pembentukan P3SRS yang dinilai tidak transparan karena ada kepentingan pengembang yang pada akhirnya penghuni merasa keberatan atas IPL yang dikenakan. Beberapa kasus konflik pada akhirnya berujung kepada operasional rusun/ apartemen yang terhambat yang membuat kenyamanan penghuni terganggu.
Kondisi-kondisi seperti ini yang membuat masyarakat enggan untuk membeli rusun meskipun lokasinya berada di pusat kota Jakarta. Para pencari rumah pada akhirnya lebih memilih daerah-daerah penyangga; Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi meski jauh dari tempat bekerja.
Padahal persoalan kemacetan yang terjadi di DKI Jakarta disebabkan banyaknya karyawan swasta dan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berangkat dari daerah penyangga. Hal ini terlihat dari kepadatan lalu lintas yang terjadi saat jam berangkat dan pulang kantor. Tak hanya itu transportasi publik saat jam berangkat dan pulang kantor juga kerap dipadati warga yang ingin kembali ke tempat tinggal masing-masing.
Tentunya pemandangan seperti ini bakal jauh berbeda apabila sebagian besar warga ada di pusat kota. Jadi untuk bekerja cukup berjalan kaki atau satu kali perjalanan menggunakan transportasi publik. Kunci mewujudkan hal tersebut adalah dengan menjadikan hunian vertikal sebagai tempat yang nyaman dan aman untuk ditinggali.
Baca juga: Pemprov DKI optimistis bisa tuntaskan konflik kepengurusan rusun
Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) sepertinya membaca fenomena ini sehingga pada akhirnya menerbitkan Keputusan Menteri PKP Nomor 4 Tahun 2025 tentang Pengelolaan Rumah Susun Milik Serta Perhimpunan Pemilik Dan Penghuni Satuan Rumah Susun dengan tujuan tidak ada lagi sengketa dalam pembentukan P3SRS.
Mediasi
Permen Nomor 4 Tahun 2025 memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk membuat peraturan daerah tentang pengelolaan rusun, pembentukan P3SRS, termasuk menerapkan sanksi administratif bagi pelanggarnya.
Selama ini di dalam penanganan konflik pembentukan P3SRS, Dinas Perumahan Rakyat dan Permukiman DKI Jakarta berupaya menyelesaikannya melalui jalur mediasi terhadap pihak-pihak yang bertikai. Namun dalam praktik di lapangan penyelesaian atas kasus pembentukan P3SRS malah berlarut-larut bahkan tidak jarang akhirnya berperkara di pengadilan.
Permasalahan pembentukan P3SRS yang ditangani Dinas Perumahan Rakyat dan Permukiman DKI Jakarta terjadi di Apartemen City Garden, Apartemen Pancoran Riverside, Puri Park View, Kota Kasablanka, dan beberapa lainnya. Berdasarkan identifikasi dinas terkait mayoritas permasalahan terjadi karena dilanggarnya tahapan-tahapan yang sebenarnya sudah diatur di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ ART).
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.