Jakarta (ANTARA) - Pemerintah menunjukkan komitmen yang kuat dalam meningkatkan ketahanan pangan nasional dengan memperluas cakupan lahan sawah yang dilindungi dari alih fungsi.

Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian merangkap Koordinator Pangan, Zulkifli Hasan, dalam keterangannya baru-baru ini.

Pernyataan tersebut sejalan dengan langkah pemerintah yang tengah merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah.

Melalui revisi ini, pemerintah berencana memperluas cakupan lahan sawah yang dilindungi dari sebelumnya tersebar di delapan provinsi menjadi mencakup dua puluh provinsi.

Penambahan luas lahan yang dilindungi sebesar 2.751.651 hektare, sehingga total lahan sawah yang akan dilindungi mencapai 6.588.595 hektare, dari sebelumnya 3.836.944 hektare.

Sejumlah media menggarisbawahi bahwa kebijakan ini muncul sebagai respons terhadap kekhawatiran banyak pihak mengenai meningkatnya alih fungsi lahan sawah produktif di berbagai daerah.

Salah satu indikasinya terlihat dari foto udara di berbagai sentra produksi beras yang menunjukkan semakin menjamurnya kompleks perumahan dan permukiman yang tumbuh di tengah-tengah hamparan sawah.

Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 (Perpres 59/2019) merupakan kebijakan strategis yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah.

Ditetapkan pada 12 September 2019, tujuan utama peraturan ini adalah meningkatkan kapasitas produksi padi dalam negeri serta menjaga ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan.

Ada beberapa poin penting yang diatur dalam Perpres ini. Pertama, mengenai ruang lingkup, peraturan ini mencakup pembentukan Tim Terpadu Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah serta penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B).

Kedua, menyangkut tujuan utama peraturan, yakni mengendalikan alih fungsi lahan sawah yang semakin meningkat dan berpotensi menurunkan produksi padi nasional serta mengancam ketahanan pangan.

Ketiga, dari segi strategi, Perpres 59/2019 menjadi bagian dari strategi peningkatan produksi padi nasional. Ini diwujudkan melalui percepatan penetapan peta lahan sawah yang dilindungi dan pengendalian alih fungsi lahan sebagai program strategis nasional.

Dengan demikian, peraturan ini memainkan peran sentral dalam menjaga ketersediaan lahan sawah sekaligus meningkatkan produksi padi demi mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan.

Namun demikian, dalam perkembangannya, muncul banyak masukan dari berbagai kalangan agar Perpres ini direvisi.

Setidaknya ada tiga alasan strategis yang mendasari urgensi revisi ini. Pertama, ketidakefektifan pelaksanaan. Meskipun telah diberlakukan sejak 2019, alih fungsi lahan sawah tetap terjadi secara masif. Peraturan ini dinilai belum cukup kuat dalam mencegah perubahan fungsi lahan.

Kedua, terjadi perubahan kondisi pertanian nasional. Sejak peraturan diterbitkan, banyak dinamika baru terjadi: perubahan iklim, krisis pangan global, tekanan terhadap produksi domestik, serta migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian. Ketiga, peraturan ini memiliki keterbatasan cakupan.

Dalam praktiknya, masih banyak aspek yang belum terakomodasi, termasuk dinamika kepemilikan tanah, dorongan pasar, serta lemahnya pengawasan dan sanksi.

Dalam Rapat Terbatas yang diinisiasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian selaku Koordinator Pangan, sejumlah keputusan penting telah diambil untuk memperkuat substansi revisi Perpres 59/2019.

Tujuan akhirnya adalah memperkuat perlindungan terhadap lahan sawah agar kapasitas produksi pangan dalam negeri dapat meningkat secara berkelanjutan.


Revisi Perpres

Beberapa hal yang diharapkan dari revisi Perpres ini antara lain, pertama, terwujudnya pengendalian alih fungsi lahan sawah yang lebih optimal. Revisi ini diharapkan memperkuat regulasi dan mekanisme pengawasan agar konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian dapat diminimalkan secara signifikan.

Kedua, peningkatan kapasitas produksi padi. Dengan lahan sawah yang tetap terjaga, produksi padi dalam negeri diharapkan dapat meningkat, sehingga ketahanan pangan nasional semakin kokoh.

Ketiga, pengamanan terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan. Revisi ini juga bertujuan memastikan bahwa lahan-lahan yang masuk dalam kategori LP2B tetap digunakan secara konsisten sebagai lahan pertanian, bukan menjadi sasaran spekulasi atau investasi non-pertanian.

Keempat, percepatan penetapan peta lahan sawah yang dilindungi. Salah satu kelemahan pelaksanaan Perpres sebelumnya adalah lambatnya penetapan peta LP2B yang menjadi dasar hukum pengendalian.

Percepatan ini penting agar tidak terjadi celah hukum yang dapat dimanfaatkan pihak-pihak tertentu.

Kelima, peningkatan pengawasan dan penegakan hukum. Revisi diharapkan dapat memperkuat sanksi terhadap pelanggaran dan memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah serta tim pengendali dalam mengawasi alih fungsi lahan.

Namun di luar aspek pengendalian, alih kepemilikan lahan sawah juga menjadi isu serius yang perlu diperhatikan dalam revisi ini.

Alih kepemilikan sering terjadi karena berbagai alasan, seperti tekanan ekonomi, perubahan gaya hidup, atau keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh petani, termasuk tenaga kerja dan air.

Banyak petani yang akhirnya menjual lahannya kepada pihak luar, termasuk pengembang, karena tidak sanggup lagi mengelola lahan secara produktif.

Perubahan kepemilikan ini memiliki dampak struktural yang signifikan. Ketika lahan sawah jatuh ke tangan pihak yang tidak memiliki niat mempertahankan fungsi pertaniannya, maka dalam jangka panjang akan terjadi konversi fungsi, meskipun secara hukum masih dikategorikan sebagai sawah.

Selain itu, alih kepemilikan berpotensi memperbesar ketimpangan penguasaan lahan serta mengancam keberlanjutan regenerasi petani.

Tak hanya itu, sejumlah kebijakan pemerintah terkait perpajakan, tata ruang, dan perizinan juga dapat secara tidak langsung mendorong percepatan alih kepemilikan.

Dalam beberapa kasus, kebijakan yang tidak sinkron antara pusat dan daerah menjadi pemicu konversi lahan secara masif.

Akhirnya, perlu ditegaskan bahwa alih fungsi dan alih kepemilikan lahan sawah bukan sekadar persoalan teknis pertanian, melainkan menyangkut masa depan pangan, kesejahteraan petani, dan kelestarian lingkungan.

Revisi Perpres 59/2019 harus dilihat sebagai langkah strategis yang menyentuh akar permasalahan secara menyeluruh.

Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin menjaga ketahanan pangan dan melindungi petani, maka revisi ini harus disertai dengan kebijakan pendukung yang komprehensif, dari sisi pembiayaan, insentif, hingga perlindungan sosial bagi petani.

Semua berharap revisi ini tidak sekadar menjadi perubahan dokumen hukum, tetapi benar-benar menjelma dalam praktik yang menyelamatkan sawah Indonesia.


*) Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.