Jakarta (ANTARA) - Pemerintah akan menulis ulang sejarah nasional dan akan di-launching pada HUT ke-80 Kemerdekaan RI. Penulisan ulang ini dilatarbelakangi oleh pentingnya perspektif yang mengutamakan kepentingan “Indonesia” untuk meneguhkan jiwa kebangsaan, serta adanya temuan-temuan baru dari berbagai penelitian primer (termasuk skripsi, tesis, dan disertasi) mengenai episode-episode kritis Sejarah Indonesia.

Menurut Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, buku hasil penulisan ulang sejarah nasional akan menjadi revisi dan penambahan pada buku sejarah yang sudah ada, serta menjadi buku sejarah resmi Indonesia dan acuan pembelajaran di sekolah-sekolah.

Penulisan ulang sejarah nasional yang disponsori negara ini memunculkan banyak pertanyaan dan kekhawatiran akan adanya pengaruh kepentingan politik kekuasaan. Ada spekulasi bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM, seperti peristiwa 1965 dan Reformasi 1998, mungkin dihilangkan atau direvisi narasinya.

Ada sebuah pertanyaan serius yang belum terjawab. Apakah pelajaran sejarah sudah ditulis secara jujur dan implementasinya berdampak dalam membentuk karakter bangsa? Bagaimana kita bisa memastikan sejarah tidak hanya dihafal, tetapi juga dipahami sebagai pelajaran hidup? Apa peran literasi sejarah dalam membangun persatuan dan kesatuan bangsa?

Pengalaman umum selama ini menunjukkan bahwa pelajaran sejarah di sekolah dasar dan menengah cenderung menitikberatkan pada hafalan peristiwa, tanggal dan nama tokoh. Peserta didik seringkali tidak memahami apa dan mengapa sebuah peristiwa sejarah, seperti G30S/PKI, bisa terjadi. Mereka tidak diajarkan untuk merefleksikan makna di balik peristiwa tersebut.

Padahal, pemahaman sejarah yang benar dan kritis dapat berkontribusi pada pembentukan karakter bangsa yang kuat, toleran, dan berintegritas di tengah zaman yang penuh ketidakpastian.

Pentingnya kejujuran narasi

Sejarah merujuk pada kejadian masa lampau. Oleh karena itu, penting untuk menggarisbawahi arti pentingnya masa lampau. Belajar dari sejarah esensial agar suatu bangsa tidak lupa jati diri (identitas naratif), serta agar bijak menghidupi masa kini dan menapaki masa depan.

Ini berarti, narasi sejarah, dengan bukti pendukung seperti kesaksian, dokumen, dan fakta arkeologis, harus jujur dan transparan. Sisi gelap dan pahitnya perlu diceritakan dengan tulus, agar bisa dimaknai dan diambil hikmahnya untuk masa yang akan datang, sehingga tidak jatuh pada kesalahan yang sama.

Untuk itu, tugas sejarawan adalah memastikan bahwa suatu peristiwa sungguh-sungguh terjadi, misalnya peristiwa G30S/PKI. Sejarawan perlu mendeskripsikan bagaimana peristiwa itu sesungguhnya terjadi, serta menjelaskan mengapa peristiwa itu terjadi dalam kaitannya dengan konteks sosial-politik-budaya yang melingkupinya. Suatu peristiwa dapat dikatakan sungguh terjadi bila ada bukti-bukti yang mendukungnya.

Sejarawan tidak hanya bertugas mencatat dan mengabadikan apa yang mereka lihat (misal: dokumen, jejak arkeologis) dan dengar (misal: kesaksian para pelaku atau saksi mata), melainkan menyusun penjelasan yang benar (alēthēs logos) tentang masa lampau.

Pada era postmodernisme dewasa ini, sejarah juga bukan lagi milik mereka yang memiliki otoritas atau pemenang sejarah. Nietzsche (1983) mengajak pembacanya untuk memperhatikan sejarah menurut mereka yang kalah, yaitu mereka yang adalah pejuang besar melawan sejarah, yakni mereka yang memiliki narasi lain (alternatif) yang bukan narasi besar sang pemenang (mainstream).

Pembentuk karakter dan kebangsaan

Peter Carey (2000) menunjukkan bahwa kesadaran akan sejarah, baik yang faktual maupun yang dimitoskan, memainkan peran penting dalam membentuk identitas nasional. Narasi-narasi masa lalu, termasuk cerita-cerita pendirian bangsa, perjuangan, dan tokoh-tokoh penting, menjadi landasan pemahaman kolektif tentang siapa "kita" sebagai sebuah bangsa.

Misalnya, pelajaran sejarah tentang peristiwa G30S/PKI harus menumbuhkan daya kritis bagi peserta didik mengenai apa dan mengapa peristiwa itu terjadi. Fakta bahwa G30S/PKI menunjukkan rentannya sebuah bangsa jika terpecah belah oleh ideologi yang saling bertentangan. Partai Komunis Indonesia dengan ideologi komunismenya berusaha mengganti dasar negara Pancasila, yang memicu konflik dan pertumpahan darah.

Refleksi yang dapat diambil dari peristiwa G30S/PKI adalah pentingnya persatuan dan kesatuan sebagai fondasi utama dalam menjaga keutuhan bangsa. Perbedaan suku, agama, ras, dan golongan harus menjadi kekayaan, bukan sumber perpecahan. Karakter kebangsaan yang kuat akan selalu mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan kelompok.

Untuk itu, putra-putri bangsa harus memperkuat pemahaman akan pentingnya mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa. Pancasila adalah perekat bangsa yang mampu menyatukan berbagai perbedaan. Pembentukan karakter kebangsaan yang kokoh berarti memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila (Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan) dalam kehidupan sehari-hari.

Demikian pula, peristiwa Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928), Proklamasi Kemerdekaan (17 Agustus 1945), perumusan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI (1945-1949) menjadi pembelajaran sejarah yang membentuk karakter bangsa yang kuat, toleran, dan berintegritas di zaman yang penuh ketidakpastian sekarang.

Sejarah sejatinya bukan milik pemegang otoritas saja. Carey (2014) percaya bahwa untuk memahami identitas nasional secara utuh, penting untuk menggali dan mengakui sejarah-sejarah yang tersembunyi atau terlupakan, termasuk pengalaman kelompok-kelompok yang termarjinalkan. Dengan memberikan suara kepada mereka yang tidak terdengar dalam narasi sejarah yang dominan, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih kaya dan lebih akurat tentang siapa “kita” sebagai bangsa.

Maka, narasi mereka yang menjadi korban HAM pada peristiwa 1965 dan Reformasi 1998 harus diakomodir dengan segala unsur positif dan negatifnya. Apa dan mengapa terjadi, perlu menjadi pelajaran berharga bagi putra-putri bangsa ke depan.

Menjadi sangat penting, pelajaran sejarah harus dipastikan ditulis secara jujur dan berdampak dalam membentuk karakter bangsa yang kuat, rukun, bersatu, berintegritas, toleran, dan bergotong-royong. Sejarah bukan lagi hafalan, tetapi pelajaran bermakna untuk masa kini dan masa depan. Kebijakan pemerintah dan peran pendidik menjadi krusial untuk harapan ini. Maka, pesan Soekarno menjadi relevan: "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah."

*) Pormadi Simbolon adalah alumnus Pascasarjana STF Driyarkara. Pembimas Katolik Kanwil Kemenag Banten.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.