Jakarta (ANTARA) - Citra sebuah institusi publik tidak hanya ditentukan oleh kinerjanya, tetapi juga oleh bagaimana ia dipersepsikan oleh publik—terutama dalam era media sosial yang serba cepat dan emosional.

Bagi institusi kepolisian, dinamika ini menghadirkan tantangan yang tidak kecil. Representasi yang terbentuk di ruang digital kerap kali tidak mencerminkan kompleksitas tugas, struktur, dan prinsip hukum yang dijalankan aparat. Ini bukan sekadar persoalan komunikasi, tetapi soal keadilan naratif dalam melihat kinerja lembaga negara yang memikul tanggung jawab keamanan dan penegakan hukum.

Dalam banyak kasus, masyarakat menilai institusi kepolisian bukan berdasarkan data atau performa keseluruhan, melainkan dari potongan kejadian yang viral. Jean Baudrillard menyebut fenomena semacam ini sebagai simulacrum—citra yang menggantikan kenyataan.

Dalam konteks kepolisian, potongan video tilang, tuduhan pungli, atau insiden oknum kerap menjadi tolok ukur yang menggantikan pemahaman utuh tentang tugas institusi dan risiko yang dihadapi dalam menjalankan mandatnya.

Dinamika ini diperkuat oleh mekanisme framing dan agenda-setting dalam studi komunikasi massa. Media sosial, yang bekerja dengan algoritma viralitas, tidak hanya menyampaikan berita, tetapi juga membentuk persepsi.

Framing menciptakan sudut pandang tertentu terhadap suatu isu, sementara agenda-setting menentukan isu mana yang mendapat perhatian publik. Sayangnya, isu yang tampil adalah yang paling kontroversial, bukan yang paling substantif. Kepolisian seringkali menjadi korban dari narasi yang tidak berimbang, terutama ketika insiden melibatkan tindakan aparat di lapangan.

Salah satu kasus konkret adalah pengungkapan jaringan distribusi konten seksual anak oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri pada Mei 2025. Melalui patroli siber dan kerja digital forensik yang canggih, enam tersangka berhasil ditangkap dari dua grup Facebook dengan ribuan anggota.

Namun, pencapaian yang memerlukan koordinasi lintas wilayah dan kerja teknis tinggi ini hanya sesaat menjadi sorotan. Perhatian publik segera beralih ke isu viral lain yang lebih emosional dan sensasional.

Saat fakta terkalahkan viralitas

Kondisi serupa terjadi ketika tiga anggota kepolisian—IPTU Lusiyanto, Bripka Petrus, dan Bripda Ghalib—gugur saat penggerebekan arena sabung ayam di Way Kanan, Lampung. Alih-alih menjadi momen penghormatan terhadap pengorbanan aparat, ruang digital justru dipenuhi spekulasi tentang "setoran" dan "pengalihan isu".

Proses hukum terhadap dua anggota TNI yang menjadi tersangka bahkan luput dari sorotan publik. Yang muncul adalah narasi yang melemahkan citra kepolisian, bukan pemahaman kontekstual terhadap peristiwa tersebut.

Kondisi ini mencerminkan moral panic sebagaimana dijelaskan oleh Stanley Cohen, di mana media menciptakan kepanikan sosial dan menunjuk satu pihak sebagai folk devil atau kambing hitam.

Dalam lanskap digital, kepolisian sering ditempatkan dalam posisi itu—menjadi sasaran dari kemarahan publik atas kegagalan sistemik yang lebih luas. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap institusi menurun, padahal menurut David Easton dan Seymour Martin Lipset, trust in institutions merupakan elemen utama stabilitas dalam sistem demokrasi.

Tagar seperti #NoViralNoJustice, yang muncul sebagai kritik terhadap respons aparat terhadap kasus-kasus tertentu, sering dijadikan bukti bahwa sistem hanya bekerja ketika ada tekanan publik. Namun, penting dicatat bahwa keterbukaan terhadap pengawasan publik justru merupakan bagian dari reformasi internal yang tengah dijalankan oleh kepolisian.

Sejak dilantik, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah mencanangkan 16 Program Prioritas, yang terbagi dalam tiga tahap: 100 hari pertama, periode 2021–2022, dan periode 2023–2024. Salah satu pilar penting dari program ini adalah penguatan akses pengaduan masyarakat dan pelibatan publik dalam pemantauan kinerja aparat.

Reformasi jalan terus, tapi sunyi

Program prioritas ini kini berkembang dalam konsep Beyond Trust Presisi, yang sejalan dengan delapan misi Asta Cita Presiden Prabowo. Inisiatif ini mendukung pelaksanaan 17 program prioritas nasional dan delapan hasil terbaik cepat, mencakup empat kebijakan, tujuh program, dan 23 kegiatan strategis yang diarahkan untuk menciptakan institusi kepolisian yang transparan, modern, dan dipercaya masyarakat.

Namun, kerja-kerja reformasi ini sering tidak tampil dalam permukaan narasi publik. Divisi Propam Polri secara konsisten menindak pelanggaran internal, dan SPKT (Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu) telah diperkuat agar masyarakat dapat menyampaikan laporan secara langsung maupun daring.

Pendekatan restorative justice juga diterapkan untuk menyelesaikan kasus-kasus ringan secara damai, tanpa harus melalui proses pidana penuh. Semua ini menunjukkan bahwa Polri tidak hanya bertindak represif, tetapi juga adaptif terhadap nilai keadilan sosial.

Sayangnya, ruang digital masih didominasi oleh komentar impulsif, penggiringan opini, dan disinformasi. Tindakan satu oknum sering digeneralisasi sebagai cerminan seluruh institusi. Padahal, kepolisian terdiri dari berbagai satuan dan fungsi: Brimob yang bertugas dalam penanggulangan kerusuhan, Sabhara yang menjaga keamanan terbuka, Satreskrim yang menyelidiki tindak pidana, hingga Bhabinkamtibmas yang membina masyarakat di tingkat desa dan kelurahan.

Program-program seperti Quick Wins Presisi dan Beyond Trust Presisi bukan sekadar slogan. Digitalisasi layanan, peningkatan transparansi, dan pelatihan etika profesi menjadi bukti nyata bahwa reformasi sedang berlangsung.

Namun, jika narasi negatif terus mendominasi tanpa ruang bagi fakta dan apresiasi terhadap kinerja positif, maka kepercayaan publik akan terus tergerus.

Diperlukan literasi digital yang kuat untuk menilai informasi secara proporsional. Kritik harus tetap ada, tetapi harus dibedakan dari fitnah dan ujaran kebencian.

Media, baik arus utama maupun media warga, harus mengambil peran untuk membangun narasi yang adil dan bertanggung jawab. Polisi bukan antagonis dalam drama sosial, melainkan institusi yang memikul beban negara dalam menjaga keamanan dan keadilan.

Membangun citra kepolisian yang berimbang bukan berarti menutupi kekurangan, tetapi menempatkan institusi ini secara adil dalam wacana publik.

Jika kepolisian kehilangan legitimasi secara kolektif, maka yang terancam bukan hanya institusi tersebut, tetapi juga stabilitas sosial dan masa depan negara hukum.

Di era viral, yang kita perlukan bukan hanya presisi tindakan, tetapi juga presisi narasi.

*) Muhammad Makmun Rasyid adalah Co-Founder the Centre for Indonesian Crisis Strategic Resolution (CICSR)

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.