Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum Prof. Suhandi Cahaya memuji kinerja para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pengujian berbagai undang-undang (UU) yang kian menumpuk belakangan ini.
Menurutnya, latar belakang pendidikan hakim di MK, yang rata-rata merupakan lulusan Strata-3 (S3), menjadi salah satu faktor yang memudahkan para hakim dalam menelaah suatu gugatan sehingga saat membuat keputusan hasilnya pun baik.
"Saya banyak mempelajari putusan-putusan MK, pertimbangannya valid dan sesuai dengan norma hukum dan perkembangan," ucap Prof. Suhandi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.
Maka dari itu, dirinya berharap kualitas hakim MK bisa dipertahankan, termasuk dari sisi kemampuan akademisnya. Ke depan, disarankan pula kemampuan akademis hakim tersebut ditingkatkan hingga profesor.
Selain di MK, ia menyarankan agar para hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi juga memiliki latar belakang akademis minimal S3 agar kualitas putusan yang dihasilkan juga semakin baik.
"Sebab kalau hakim-hakimnya mumpuni, tentu kualitas hukum di Indonesia akan baik," ungkapnya.
Adapun terkait banyaknya UU yang diajukan pengujian di MK, Suhandi menyayangkannya lantaran menandakan pembuat UU kurang kredibel dan kurang memahami substansi dari suatu produk aturan.
Dia berpendapat hal itu bisa terjadi karena latar belakang keilmuan para pembuat UU yang kurang mumpuni atau pemahamannya akan suatu regulasi tidak disesuaikan dengan perkembangan yang ada.
Disebutkan Suhandi bahwa mayoritas pendidikan pembuat UU masih berlatarkan S1, sehingga diharapkan para pembuat UU, seperti Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), diisi oleh para wakil rakyat yang memiliki latar pendidikan S3.
"Kalau masih S1, rasanya untuk mencapai UU yang bagus atau sempurna sangat sulit karena latar belakang pendidikan akademis seseorang mempengaruhi pola pikir dan cara pandang, termasuk dalam membuat suatu produk UU," kata Suhandi.
Di sisi lain, dirinya menilai terdapat pula kemungkinan UU yang dibuat merupakan "pesanan", sehingga tidak begitu tajam atau tidak begitu valid dan harus kembali diuji oleh MK.
Oleh karenanya, dia mengingatkan agar legislatif tidak membuat UU berdasarkan "pesanan" atau kepentingan beberapa pihak semata.
"Kalau ada pesanan dan kepentingan jadi tidak murni lagi isi dari UU itu dan tidak bagus. Mengalir saja sesuai dengan kebutuhan yang ada," tuturnya.
Hingga Mei 2025, MK telah menerima permohonan pengujian terhadap 95 UU, di mana sekitar 91 di antaranya sudah teregister, sementara sisanya belum.
Dari jumlah tersebut, setidaknya ada 36 UU yang konstitusionalitasnya diuji. UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI menduduki urutan pertama terbanyak yang dipersoalkan ke MK, yakni sebanyak 17 perkara.
Di urutan kedua, ada UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara sebanyak delapan perkara.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.