Makkah, Arab Saudi (ANTARA) - Musim haji 2025 adalah panggung ujian bagi jamaah dan pemerintah Indonesia. Di tengah semakin ketatnya pemerintah Arab Saudi dalam penerapan regulasi haji, seperti visa, nusuk, istithoah kesehatan, dan sistem multisyarikah, penyelenggara haji Indonesia ditantang untuk lebih adaptif dan proaktif.

Seberapa ketat pemerintah Arab Saudi mengelola haji 2025? Sangat ketat! Lihatlah gelar pasukan militer dan aparat keamanan Arab Saudi di Arafah, yang melibatkan hampir seluruh matra pasukan dari angkatan bersenjata, kepolisian, dan askar Kerajaan Arab Saudi. Gelar pasukan itu lebih dari cukup untuk membuktikan keseriusan Arab Saudi mewujudkan keamanan haji 2025.

Dari sisi perijinan pemerintah Arab Saudi juga tak kalah ketat. Arab Saudi hanya mengijinkan jamaah yang memegang visa haji resmi—bukan visa ziarah atau turis— memasuki area Makkah.

Nusuk menjadi alat verifikasi utama. Tanpa kartu nusuk atau akun di aplikasi nusuk digital, jamaah tidak dapat mengakses sejumlah fasilitas ibadah, tidak bisa masuk ke Masjidil Haram, Arafah, Muzdalifah atau Mina.

Pemeriksaan dokumen dan status visa dilakukan berlapis, sejak dari Bandara King Abdul Aziz hingga titik-titik masuk ke kota suci. Pos-pos pemeriksaan di jalan utama dari Jeddah dan Madinah menuju Makkah dijaga aparat gabungan, termasuk polisi, askar, dan personel militer.

Bus jamaah diperiksa satu per satu, dari mulai manifes, status visa, hingga bukti reservasi layanan dari syarikah. Jamaah yang tidak terdaftar secara resmi langsung diturunkan.

Di sekitar kawasan Masjidil Haram, pengawasan dilakukan hampir 24 jam oleh pasukan keamanan yang tersebar di semua gerbang. Askar-askar yang ditempatkan di setiap akses masuk secara selektif memeriksa nusuk jamaah. Bahkan petugas perempuan turut dilibatkan untuk pemeriksaan bagi jamaah wanita.

Kebijakan ini sekali lagi menunjukkan keseriusan Arab Saudi dalam menertibkan pelaksanaan haji, menghindari kelebihan kapasitas Masjidil Haram serta meminimalkan risiko keamanan.

Kementerian Agama RI mengakui pemerintah Arab Saudi memang benar-benar berusaha keras untuk menjadikan haji lebih tertib.

Berbagai kebijakan yang dikeluarkan otoritas Arab Saudi, mungkin telah membuat sebagian jamaah tidak nyaman, tapi pengetatan itu terbukti telah membuat situasi Kota Makkah lebih tertib dan aman. Jalan-jalan Kota Makkah jadi lebih teratur, tingkat kriminalitas bisa diredam.

Penyelenggara haji Indonesia, secara resiprokal juga menetapkan keamanan jamaah menjadi fondasi pertama pada pelaksanaan haji 2025. Skema perlindungan jemaah dari insiden dan kelelahan ekstrem, keamanan data, dan akurasi visa menjadi perhatian utama. Pemerintah memastikan setiap jemaah mendapatkan kartu nusuk atau telah mengunduh nusuk digital, sehingga tidak ada jamaah yang tertinggal dan tidak dapat berhaji.

Nyaman

Tak bisa dipungkiri, menghadirkan kenyamanan bagi jamaah ditengah regulasi yang ketat bukanlah hal mudah. Kenyamanan adalah soal empati—soal menghadirkan layanan yang tidak hanya profesional tapi juga manusiawi.

Ada banyak kisah soal kenyamanan ini. Sistem multisyarikah yang tidak paralel dengan kloter jamaah membuat sejumlah persoalan muncul, seperti pasangan jamaah bermukim di hotel berbeda, jamaah pendamping terpisah dengan jamaah lansia atau disabilitas yang didampingi, koper yang tertukar, jamaah yang kesulitan menemukan penginapannya hingga keterlambatan penerbitan kartu nusuk oleh syarikah.

Namun, Menteri Agama Nazaruddin Umar, menyatakan menjelang puncak Armuzna, satu per satu masalah itu dapat terurai. Hal itu karena gerak cepat petugas haji dengan otoritas perhajian Arab Saudi, yang cukup responsif.

Penanganan kesehatan jamaah juga menjadi problem yang cukup pelik, terutama setelah otoritas Arab Saudi melarang operasional Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) dan pembukaan klinik satelit di setiap hotel dan kantor sektor jamaah haji.

Pemerintah Saudi menginginkan setiap jamaah yang sakit semestinya langsung dibawa ke rumah sakit resmi Arab Saudi. Namun jamaah Indonesia yang mengalami kendala bahasa, umumnya enggan berobat ke layanan kesehatan Arab Saudi. Akibatnya beberapa jamaah sakitnya bertambah parah, dan menimbulkan risiko kematian yang lebih tinggi.

Hingga Senin, jumlah jamaah Indonesia yang wafat sudah mencapai 128 jiwa. Nazaruddin mengakui jumlah ini lebih besar dibanding tahun lalu pada periode yang sama sebelum puncak Armuzna. Beruntunglah, masalah ini dipahami oleh kementerian kesehatan Arab Saudi, dan mulai Senin (2/6) layanan klinik oleh dokter dan tenaga kesehatan Indonesia bisa dilakukan kembali.

Soal konsumsi, punya cerita lain. Umumnya jamaah suka dengan katering yang cita rasanya sesuai dengan lidah Nusantara. Ada banyak cerita gembira soal katering yang ternyata memang menghadirkan bumbu-bumbu dari Indonesia.

"Kulo kui wong kampung Pak. Biasa ya dahar lauk jangan kates(Saya ini orang kampung, Pak. Biasa makan lauk sayur pepaya)," kata salah satu jamaah, Rustam, yang mengaku puas dengan makanan yang dia dapat selama berada di Kota Madinah.

Mabrur sepanjang umur

Haji adalah ibadah puncak dalam rukun Islam, karena itu ibadah haji yang telah ditunggu-tunggu belasan tahun harus menghasilkan buah spiritual: kemabruran.

Wakil Menteri Agama R. Mohammad Syafii menegaskan bahwa kemabruran tidak cukup hanya dengan menjalani syarat dan rukun ibadah, tetapi juga ditentukan oleh kesiapan hati dan tubuh para jemaah. “Keikhlasan itu fondasi awal ibadah. Tapi jangan lupa, keikhlasan juga harus ditopang oleh kesehatan,” ujar Romo Syafii, sapaan akrabnya.

Ia menambahkan bahwa jemaah yang lelah secara fisik dan tak menjaga kondisi sebelum berangkat kerap kehilangan fokus ibadah saat di Tanah Suci.

Apa yang disampaikan Romo Syafii menjadi pengingat bahwa kemabruran adalah puncak dari sinergi: antara niat yang lurus, tubuh yang sehat, dan sistem yang tertata. Negara memfasilitasi, namun jemaah tetap harus mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh, lahir dan batin.

Sementara itu, BP Haji sebagai lembaga baru yang akan memegang mandat penyelenggaraan haji pada 2026 nanti, memiliki ruang untuk membenahi dari hulu ke hilir. Bukan hanya soal efisiensi biaya—yang memang penting—tetapi juga soal kesinambungan nilai dan pelayanan. Sebab haji yang murah tapi tak mabrur adalah kehilangan makna. Sebaliknya, haji yang mabrur namun menyiksa fisik dan batin jemaah, adalah bentuk kelalaian kolektif.

Dan akhirnya, tanggung jawab haji memang bukan hanya milik negara. Ia adalah kerja gotong royong seluruh elemen bangsa, penyelenggara haji, dari ulama, akademisi, dan relawan haji.

Mabrur itu bukan hasil teknis, ia buah dari niat yang lurus, tubuh yang kuat, dan pelayanan yang penuh kasih. Hanya dengan kolaborasi dan kesungguhan, harapan Presiden Prabowo untuk mewujudkan haji yang terbaik dalam sejarah penyelenggaraan haji Indonesia dapat diimplementasikan tahun ini.

Maka ikhtiar ini tidak boleh berhenti di tahun 2025, tetapi harus dirawat sepanjang umur.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.