Jadi, kalau anggota kabinet, kepala PCO, enggak boleh memang. ... . Akan tetapi, wakilnya itu dibolehkan secara aturan.
Jakarta (ANTARA) - Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi mengatakan bahwa secara aturan wakil menteri boleh merangkap jabatan.
"Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80 Tahun 2019, tidak ada pernyataan bahwa wakil menteri tidak boleh merangkap jabatan," ujar Hasan saat memberikan keterangan di Kantor PCO, Jakarta, Selasa.
Hasan menjelaskan bahwa berdasarkan Putusan MK Nomor 80 Tahun 2019 tidak ada ketentuan yang secara eksplisit melarang wakil menteri merangkap jabatan.
Meskipun dalam pertimbangan putusan terdapat frasa yang mengarah ke sana, bunyi putusan tidak melarang hal tersebut.
"Pada Putusan MK Nomor 80 Tahun 2019 tidak ada bunyi putusan yang melarang itu. Itu clear. Dalam pertimbangan, ada kata-kata yang seperti itu, tetapi dalam putusan tidak ada," ujar dia.
Apabila terdapat pihak-pihak yang keberatan terhadap putusan tersebut, kata dia, mereka berhak untuk mengajukan gugatan. Akan tetapi, secara hukum, keputusan yang berlaku saat ini tidak bertentangan dengan aturan.
Hasan menambahkan bahwa anggota kabinet seperti menteri maupun dirinya memang tidak diperbolehkan untuk merangkap jabatan. Namun, untuk wakil menteri secara aturan masih diperbolehkan.
"Jadi, kalau anggota kabinet, kepala PCO, enggak boleh memang. Menteri Sekretaris Negara enggak boleh memang. Akan tetapi, wakilnya itu dibolehkan secara aturan," kata Hasan.
Baca juga: Ahli: Pertimbangan hukum MK sama mengikatnya dengan amar putusan
Baca juga: Pertimbangan hukum MK perlu dicermati sebelum revisi PKPU
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies Juhaidy Rizaldy Roringkon yang mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara di Mahkamah Konstitusi meminta agar wakil menteri (wamen) dilarang merangkap jabatan.
Juhaidy menguji materi Pasal 23 UU Kementerian Negara lantaran merasa dirugikan hak konstitusionalnya. Menurut dia, pasal tersebut hanya mengatur larangan rangkap jabatan terhadap menteri, sementara terhadap wakil menteri tidak diatur larangan serupa.
Adapun Pasal 23 UU Kementerian Negara tersebut berbunyi: "Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD."
Menurut Juhaidy, setidaknya terdapat enam wakil menteri saat ini yang merangkap jabatan sebagai komisaris dan/atau dewan pengawas BUMN. Padahal, wakil menteri merupakan satu kesatuan unsur pemimpin dalam kementerian yang tidak dapat dipisahkan dengan menteri.
Dalam hal ini, Juhaidy mengutip pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang menegaskan bahwa wakil menteri semestinya dilarang merangkap jabatan, seperti layaknya menteri.
Pada pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 80 itu, Mahkamah menyatakan bahwa pengangkatan dan pemberhentian wakil menteri merupakan hak prerogatif Presiden sebagaimana halnya pengangkatan dan pemberhentian menteri.
Baca juga: Mahasiswa minta MK larang menteri rangkap jabatan pengurus parpol
Baca juga: Uji materi UU Kementerian Negara, wamen diminta tak rangkap jabatan
Oleh sebab itu, menurut MK, wakil menteri harus ditempatkan statusnya seperti menteri sehingga seluruh larangan rangkap jabatan yang diatur dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara berlaku pula bagi wakil menteri. Namun, ketika itu, MK memutuskan permohonan tidak dapat diterima karena para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum.
Menurut Juhaidy, norma tersebut harus hidup dalam undang-undang agar mengikat bagi seluruh pihak. Atas dasar itu, melalui permohonan yang teregister dengan Nomor 21/PUU-XXIII/2025 ini, dia meminta MK menambahkan frasa "wakil menteri" setelah kata "menteri" dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara.
Dengan demikian, dia memohon, pasal tersebut diubah menjadi berbunyi: "Menteri dan wakil menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD."
Sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 21/PUU-XXIII/2025 telah digelar di MK, Jakarta, Selasa (22/4). Pemohon diberikan waktu 14 hari jika ingin memperbaiki permohonannya sampai dengan 5 Mei 2025.
Pewarta: Fathur Rochman/Mentari Dwi Gayati
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.