Jakarta (ANTARA) - Delapan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang mengajukan permohonan uji materiil Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota ke Mahkamah Konstitusi.
Para pemohon meminta Mahkamah untuk memaknai kembali aturan ambang batas (threshold) pencalonan kepala dan wakil kepala daerah.
Dalam permohonannya, kedelapan mahasiswa itu meminta agar threshold pilkada dihapuskan seperti layaknya putusan MK terkait threshold pemilihan presiden dan wakil presiden.
“Memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon’,” kata kuasa hukum para pemohon Gilang Muhammad Mumtaaz di MK RI, Jakarta, Rabu.
Pada permohonan ini, kedelapan mahasiswa tersebut mendasarkan argumentasinya pada pendirian MK pada banyak putusan sebelumnya bahwa tidak ada lagi perbedaan antara rezim pilkada dan pemilu.
Baca juga: MK gelar sidang pendahuluan uji materiil "presidential threshold"
Para pemohon menyoroti Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu perihal presidential threshold. Menurut mereka, selayaknya putusan itu, threshold untuk pilkada juga harus dihapuskan.
Threshold pilkada dinilai menimbulkan polarisasi partai politik dan mengarahkan pada kehadiran calon tunggal. Kondisi ini dianggap dapat menghambat pelaksanaan pemilihan langsung oleh rakyat sehingga bertentangan dengan amanat konstitusi.
Lebih lanjut para pemohon juga menguji Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah threshold pilkada menjadi lebih rendah, yakni dari yang sebelumnya 20 atau 25 persen menjadi 6,5 sampai dengan 10 persen.
Menurut mereka, putusan MK itu belum sepenuhnya menghapus potensi kemunculan calon tunggal. Sebab, putusan itu masih memunculkan dua kemungkinan, yakni partai politik yang lolos memenuhi ambang batas dan partai politik yang tidak.
Dicontohkannya, ada 37 calon tunggal pada Pilkada 2024. Sebagai konteks, masa pencalonan kepala daerah pada pilkada tahun lalu dibuka satu pekan setelah Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 diucapkan.
Baca juga: Pemohon uji materiil UU tentang Pemilu sampaikan perbaikan ke MK
Menurut para pemohon, putusan tersebut belum memberikan alasan rasional ataupun ilmiah mengenai eksistensi besaran threshold pilkada.
Mereka pun meyakini bahwa ambang batas pencalonan kepala daerah bagi partai politik mendistorsi hakikat pilkada dan partai politik sebagai pilar demokrasi.
Atas dasar itu, kedelapan mahasiswa dimaksud meminta ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah dalam Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada dihapuskan dan norma pasalnya dimaknai ulang menjadi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon.
Perkara ini teregister dengan Nomor 90/PUU-XXIII/2025. Para pemohon, antara lain, Khalid Irsyad Januarsyah, Robby Ardiansyah, Zamroni Akhmad Affandi, Panji Muhammad Akbar, Zahira Nurmahdi Hanafiah, Muhammad Azis, Muhammad Faisal Hamdi, dan Hasan Kurnia Hoetomo.
Pada sesi nasihat hakim, Wakil Ketua MK Saldi Isra selaku ketua sidang panel mengatakan bahwa secara konstitusi, pengaturan pilkada berbeda dengan pilpres.
Saldi menjelaskan Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa presiden “dipilih langsung oleh rakyat”, sementara Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 mengamanatkan kepala daerah “dipilih secara demokratis”.
Menurut Saldi, perbedaan ini menjadi tantangan yang harus dielaborasi lebih jauh oleh para pemohon.
“Sebab, kalau Anda tidak bisa menjelaskan itu, tetap akan kelihatan secara konstitusional pengaturannya berbeda (antara pilkada dan pilpres),” kata dia.
Saldi pun meminta para pemohon membaca lebih teliti Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengatur ulang ambang batas pencalonan pilkada alih-alih menjadikannya nol atau dihapuskan.
Ia menyebut pengaturan ulang ambang batas itu didasarkan pada syarat calon perseorangan pada pilkada.
Diketahui, dalam pertimbangan putusan disebutkan bahwa akan tidak rasional jika syarat pengusulan kepala daerah dari partai politik atau gabungan partai politik lebih besar daripada pengusulan pasangan calon jalur perseorangan.
“Nah, sekarang Anda harus mentahkan itu. Kalau partai politiknya dikasih nol, calon perseorangannya berapa? Jadi kalau mau komprehensif ini, Anda juga harus memikir ulang (syarat calon) perseorangan itu,” imbuh Saldi.
Usai sesi nasihat, Saldi mengatakan para pemohon dapat menyempurnakan permohonannya dalam waktu paling lama 14 hari.
Berkas permohonan hasil perbaikan diterima kepaniteraan MK selambat-lambatnya pada Selasa (17/6).
Baca juga: UU Pilkada digugat ke MK, minta calon bisa maju dengan dukungan ormas
Baca juga: PD dukung uji materiil ambang batas presiden 20 persen
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.