Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyebut pentingnya peningkatan literasi digital anak, orang tua, dan guru untuk mendukung Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).

"Langkah strategis mendukung PP Tunas itu melalui peningkatan literasi digital bagi anak, orang tua dan guru, serta pelibatan dan partisipasi anak dalam kebijakan digital," kata Analis Kebijakan Ahli Madya KPPPA RI Dita Andriasari dalam webinar yang diikuti di Jakarta, Kamis.

Dita menegaskan, PP Tunas merupakan respons pemerintah untuk menangani kasus-kasus kekerasan terhadap anak di dunia digital yang belakangan marak terjadi, mulai dari Grup Facebook Fantasi Sedarah atau pelecehan seksual terhadap anak yang mengarah kepada inses, serta Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan eksploitasi seksual berkedok iklan layanan kerja.

"Belakangan juga marak ada lowongan di media sosial menjadi asisten rumah tangga (ART), tetapi setelah diterima, mereka justru dijerumuskan menjadi pekerja seks komersial (PSK). Selain itu, juga ada kasus perdagangan bayi melalui TikTok di Pekanbaru, Riau, serta eksploitasi seksual di situs pornografi Australia oleh Kapolres Ngada," ujar dia.

Dita juga menyampaikan pentingnya peningkatan kolaborasi lintas sektor, pengawasan dan penegakan hukum, serta inovasi teknologi yang ramah anak untuk mendukung PP Tunas.

Baca juga: Strategi Kemkomdigi pastikan PSE patuhi PP Tunas atasi konten negatif
Baca juga: Pasca-PP Tunas terbit, KemenPPPA rumuskan pembatasan medsos bagi anak

"Selain itu, juga perlu dukungan hardware dan software, serta jaringan yang kuat bagi tim aduan konten," ujar dia.

Kemudian, menurut dia, juga perlu ada tim kajian penguatan regulasi pelindungan anak dalam ruang digital menyusul ditetapkannya PP tersebut.

Saat ini, menurut Dita, KPPPA juga tengah mempercepat Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) tentang Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring (PARD) untuk melindungi anak-anak dari bahaya di dunia digital.

"Arah kebijakan dalam RPerpres PARD tersebut yakni penguatan kapasitas anak, keluarga, dan masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan ketahanan diri anak dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi," tuturnya.

Untuk diketahui, berdasarkan survei nasional pengalaman hidup anak dan remaja tahun 2024, sebanyak 4,21 persen laki-laki atau 4 dari 100 laki-laki, serta 4,14 persen perempuan atau 4 dari 100 perempuan usia 13-17 tahun baik di perkotaan maupun pedesaan, mengalami kekerasan seksual non-kontak sepanjang hidupnya.

Kekerasan seksual non-kontak yakni anak dipaksa menyaksikan kegiatan seksual, membaca tulisan yang menggambarkan kegiatan seksual, dipaksa terlibat dalam gambar, foto, atau video kegiatan seksual, serta diminta mengirimkan teks, gambar/foto, atau video tentang kegiatan seksual.

Baca juga: UNICEF sebut PP Tunas tingkatkan konten ramah anak di dunia digital
Baca juga: Pemerintah siapkan SKB enam menteri sempurnakan sosialisasi PP Tunas

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.