Bengkulu (ANTARA) - Konsorsium Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) mengajak semua elemen menyadari bahwa pencemaran pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara merupakan polusi mematikan.

"Memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 semua pihak penting untuk menyadari bahwa pencemaran udara, air, dan tanah akibat operasi PLTU batu bara adalah polusi yang mematikan," kata Konsolidator STuEB Ali Akbar di Bengkulu, Kamis.

Keberadaan PLTU batu bara dinilai bertentangan dengan prinsip transisi energi Indonesia. Di mana, Indonesia sedang berupaya mencapai puncak emisi sektor ketenagalistrikan maksimal pada 2030, serta komitmen untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) paling lambat pada 2060.

Dalam jangka menengah, Indonesia menargetkan porsi energi baru dan terbarukan (EBT) mencapai 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025 dan meningkat menjadi 34 persen dalam bauran pembangkitan listrik pada 2030.

Baca juga: KPK kembali panggil eks Cabup Bojonegoro jadi saksi kasus PLTU Cirebon

Baca juga: PLN Indonesia Power Labuhan Angin olah uang kertas rusak jadi listrik

"Kami (STuEB), dalam delapan tahun terakhir menyerukan pensiun dini PLTU batu bara di Indonesia dengan kapasitas 6,2 GW hingga saat ini belum terealisasi. Sementara pada saat yang bersamaan malah akan dibangun PLTU batubara baru," kata Ali.

Direktur Apel Greend Aceh Rahmad Syukur menjelaskan pembangunan PLTU batu bara baru di Aceh adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hak atas udara bersih, tanah yang subur, laut yang sehat, dan masa depan yang layak.

Masyarakat Aceh, menurut dia, sudah terlalu lama menanggung dampak polusi udara, kerusakan lahan, konflik ruang hidup, dan ancaman kesehatan akibat aktivitas industri batu bara.

Direktur Srikandi Lestari di Sumatera Utara Sumiati Surbakti menjelaskan saat ini PLTU Pangkalan Susu merupakan simbol kontradiksi dalam pelaksanaan transisi energi di Indonesia.

"Kebijakan ini tidak hanya melemahkan kredibilitas Indonesia di mata internasional, tetapi juga menghambat transformasi sistem energi menuju arah yang lebih bersih, berkelanjutan, dan berkeadilan," katanya.

Manager Kampanye Yayasan Anak Padi di Lahat Melia Satry menjelaskan bahwa Kecamatan Merapi Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, sudah diselimuti polusi yang sangat parah.

“Kami sesak napas menghirup polusi dari PLTU batubara dan angkutan batu bara di Lahat. Penambahan PLTU batu bara baru akan lebih menyiksa kami," katanya.

Manajer Kampanye Lembaga Tiga Beradik Jambi Deri Sopian menjelaskan kerugian Provinsi Jambi akibat industri ekstraktif batu bara sangat signifikan, mulai dari kerugian finansial, lingkungan, dan sosial.

Estimasi kerugian negara akibat kerusakan ekosistem dan kejahatan ekologi di Jambi menurut dia mencapai lebih dari Rp17 triliun.

Kadiv Advokasi LBH Lampung Prabowo Pamungkas menyatakan PLTU batu bara Sebalang dan PLTU batu bara Tarahan di Lampung telah menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan.

Warga Dusun Sebalang, Desa Tarahan, mengeluhkan polusi abu batu bara yang mencemari pemukiman dan berdampak pada kesehatan, terutama anak-anak.

Selain itu, pembuangan limbah pencucian boiler ke laut oleh PLTU Sebalang juga diduga mengancam ekosistem pesisir dan mengurangi hasil tangkapan ikan nelayan

Mengingat berbahayanya pengoperasian PLTU bagi lingkungan dan rakyat, STuEB menyatakan Hari Lingkungan Hidup Sedunia seharusnya menjadi momentum bagi Indonesia untuk memimpin transisi energi yang adil dan berkelanjutan.*

Baca juga: Aktivitas Co-Firing biomassa untuk PLTU buka peluang kerja di Konsel

Baca juga: Kementerian ESDM: 3,2 dari 6,3 GW PLTU mulai beroperasi tahun ini

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.