Jakarta (ANTARA) - Saat ini tren membeli mainan seperti boneka labubu atau boneka edisi terbatas sering kali ditemui khususnya pada generasi Z dan milenial yang kini rata-rata sudah berusia di atas 20 tahun.

Fenomena ini ternyata dikenal dengan nama "kidulting" sebuah paduan dari kata kid dan adulting, merujuk pada orang-orang dewasa yang masih memanjakan diri dengan hal-hal yang biasanya membahagiakan anak-anak.

Menurut laporan dari India Today pada Selasa (3/6), meski ini terlihat seperti tren viral baru, namun kidulting ternyata istilah kidult ini sudah ada sejak 1980 dan pertama kali muncul di majalah Times pada 11 Agustus 1985 dalam artikel “Coming Soon: TV’s New Boy Network.”

Saat itu, istilah ini dimaksudkan dengan makna ganda - pertama seorang anak yang berpura-pura dewasa, dan kedua, orang dewasa yang kekanak-kanakan.

Baca juga: Menggugah romansa masa bocah, menghindari rasa lelah

Namun makna lainnya seperti yang dipahami saat ini, merujuk pada fenomena sosial orang dewasa yang tumbuh bersenang-senang dengan kenangan dan hal-hal yang menyenangkan dari masa anak-anak.

Perusahaan riset pasar dan teknologi asal AS, Circana, dalam laporannya menunjukkan bahwa demografi kidult merupakan pendorong utama dalam industri mainan.

Orang dewasa yang dimulai dari usia 18 tahun ke atas, merupakan kelompok usia yang paling cepat berkembang di pasar mainan selama dua tahun terakhir dengan peningkatan penjualan sebesar 5,5 persen, sementara remaja (12–17 tahun) tumbuh sebesar 3,3 persen.

Sebaliknya, penjualan mainan yang memang menyasar anak-anak justru sebenarnya turun secara signifikan sejak 2021, dengan pengeluaran per anak juga menurun.

Baca juga: Tren "bagcharm" jadi alasan Ardina Rasti hobi koleksi boneka Pop Mart

Dari data tersebut, Circana menyebutkan hal ini terjadi karena beberapa hal di antaranya perasaan nostalgia, daya koleksi, fandom (kepenggemaran), serta kolaborasi.

Beberapa jenama yang terbukti mampu memanfaatkan fenomena ini di antaranya seperti LEGO, Mattel, Pokemon, Marvel, DC, dan beberapa perusahaan anime.

Direktur Eksekutif Circana Melissa Symonds menjelaskan bahwa pembatasan sosial ekstrem saat pandemi COVID-19 juga ternyata ikut memainkan peran penting dalam meningkatkan budaya kidult.

Menurutnya, di saat pembatasan sosial COVID-19, menjadi lebih banyak orang-orang dewasa yang kembali menemukan kegembiraan kecil dalam hidup melakukan hal yang di masa kecilnya mereka gemari.

Baca juga: Boneka panda inovatif buatan China kian populer di seluruh dunia

“Setiap orang menemukan kembali kegembiraan mengerjakan teka-teki, atau bermain game di rumah mereka, atau mengumpulkan produk yang sangat mereka sukai. Itu sebenarnya terus berlanjut sejak saat itu," katanya.

Kidult juga semakin meningkat karena kondisi orang dewasa khususnya dari kalangan Gen Z dan milenial telah memiliki pemasukkan yang mendanai hal-hal yang mungkin tak bisa mereka dapatkan saat masih anak-anak sehingga hal ini kini tak bisa lagi dihindarkan.

Mungkin memang sempat ada masa di mana orang-orang dewasa yang membeli mainan kartu Pokemon maupun baju bertemakan Hello Kitty dianggap kekanak-kanakan.

Namun saat ini hal tersebut tidak lagi relevan, dengan perubahan situasi sosial justru sekarang kidult sudah menjadi gaya hidup dari orang-orang berusia lebih dari 20 tahun itu dan menyelami hal-hal yang tak bisa didapatkannya ketika masih kecil.

Baca juga: Labubu dan Lisa Blackpink: fenomena "cute creepy"

Baca juga: Mattel keluarkan boneka Barbie tunanetra pertama

Penerjemah: Livia Kristianti
Editor: Mahmudah
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.