Jika selama ini solusi stunting dianggap tanggung jawab eksklusif pemerintah dan sektor medis, maka pendekatan lintas sektor menjadi keniscayaan.
Jakarta (ANTARA) - Indonesia sedang menghadapi tantangan gizi yang tak bisa disepelekan. Stunting dan anemia, dua masalah kesehatan anak yang saling berkaitan, menjadi cermin ketimpangan akses dan pemahaman terhadap nutrisi yang layak.
Bukan hanya karena kurang makan, melainkan karena salah makan. Di tengah kompleksitas inilah, muncul upaya dari berbagai pihak untuk menjawab krisis ini secara lebih sistemik dan menyeluruh.
Bukan hanya pemerintah dan sektor kesehatan masyarakat, tetapi juga kalangan industri pangan yang mulai mengambil posisi lebih strategis sebagai bagian dari solusi, bukan sekadar produsen.
Stunting di Indonesia masih berada di angka 19,8 persen, sementara 1 dari 3 anak balita mengalami anemia.
Kondisi ini bukan hanya mengganggu tumbuh kembang fisik, tetapi juga berdampak jangka panjang pada perkembangan kognitif, produktivitas ekonomi, bahkan masa depan generasi bangsa.
Anemia yang kronis di masa kanak-kanak terbukti menurunkan kemampuan belajar dan konsentrasi.
Stunting, di sisi lain, tidak sekadar soal tinggi badan yang kurang, tetapi tentang otak yang tidak berkembang optimal, imun yang lemah, dan potensi yang tidak pernah mencapai kematangan terbaiknya.
Di sinilah pentingnya perspektif baru dalam memandang perbaikan gizi, tidak bisa berhenti di intervensi jangka pendek, tetapi harus menciptakan ekosistem yang menyeluruh.
Mulai dari edukasi kepada orang tua, skrining gizi secara dini, akses pada pangan yang bergizi dan terjangkau, hingga intervensi berbasis sains dan bukti.
Baca juga: Anggota DPR apresiasi penurunan stunting di berbagai daerah
Jika selama ini solusi stunting dianggap tanggung jawab eksklusif pemerintah dan sektor medis, maka pendekatan lintas sektor menjadi keniscayaan.
Salah satu contoh peran strategis dari sektor industri dapat dilihat melalui keterlibatan sejumlah produsen pangan yang mengembangkan pendekatan berbasis edukasi dan skrining, seperti program yang dilakukan oleh Sarihusada.
Program Generasi Maju Bebas Stunting, misalnya, bukan hanya menghadirkan produk nutrisi, tetapi juga menginisiasi skrining gizi dan kampanye edukatif kepada keluarga muda di berbagai daerah.
Prof Hardinsyah PhD, Chair of the Committee Professor from IPB University & President of International College of Nutrition, menilai pendekatan ini menunjukkan bagaimana peran semua pihak secara kolaboratif bisa melengkapi kerja pemerintah dalam membangun kesadaran gizi sejak dini.
Dalam kerangka inilah, apresiasi yang diberikan dalam ajang “Peduli Gizi 2025” menunjukkan bahwa dunia industri pangan perlahan mulai menggeser perannya dari sekadar penyedia produk menjadi pelaku transformasi sosial.
Baca juga: Anggota DPR apresiasi penurunan stunting di berbagai daerah
Salah satu inisiatif yang menonjol adalah program edukatif dan skrining gizi seperti Generasi Maju Bebas Stunting.
Bukan sekadar kampanye, program ini menerapkan tiga langkah konkrit, mengukur tinggi dan berat anak secara teratur, konsultasi ke dokter, dan memastikan pemberian nutrisi teruji klinis.
Dengan menjangkau lebih dari 8.000 anak di 50 titik sejak 2023, program ini bukan sekadar retorika, melainkan gerakan nyata yang menandai babak baru dalam tata kelola intervensi gizi berbasis komunitas.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.