Jakarta (ANTARA) - Rakyat Indonesia sudah memiliki pengalaman panjang dalam pelaksanaan demokrasi. Bangsa ini memilih demokrasi Pancasila, bukan karena kebetulan, melainkan karena berbasiskan sejarah yang panjang.

Pada dasawarsa 1950-an, Indonesia pernah memakai sistem demokrasi parlementer, yang cenderung liberal, namun sebagaimana diketahui dari catatan sejarah, sistem itu gagal memberikan dampak kesejahteraan bagi warga.

Salah satu sebabnya adalah karena sistem demokrasi yang dianut saat itu tidak menghasilkan pemerintahan efektif, yang pada gilirannya tidak ada pula kebijakan negara yang efektif.

Kemudian masuk periode Orde Baru (1966-1998), sebuah rezim yang relatif berusia cukup panjang, karena dianggap bisa memberi peningkatan kualitas kesejahteraan rakyat. Harus diakui ada perbaikan kesejahteraan. Ada perbaikan indeks pembangunan manusia.

Namun masyarakat juga ingin keadilan dan kebebasan kebebasan untuk turut serta menentukan nasib bangsa. Munculnya aspirasi akan keadilan dan kebebasan ini tak terpenuhi. Walhasil, Orde Baru pun runtuh karena ada krisis yang memicunya.

Negara kesejahteraan merupakan cita cita dan komitmen pendiri negara. Cita-cita mulia pada pendiri bangsa, tentu saja memiliki alasan yang kuat, dimana keberadaan negara sangat dibutuhkan untuk membantu rakyat, dari keterpurukan pascaperang melawan berbagai penjajahan di pelosok negeri.

Sebagai bangsa yang baru merdeka tentu tidaklah serta merta dapat berdiri dan mandiri tanpa kekuatan negara.

Negara dianggap sebagai solusi untuk menjawab tantangan, pilihan negara kesejahteraan (welfare state) adalah sesuai kebutuhan rakyat.


Masyarakat sejahtera

Indonesia sebagai negara kesejahteraan menjadi bagian dari komitmen negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Negara dan peta politik pemerintahan, idealnya memiliki orientasi terhadap kesejahteraan sosial, terlebih di negara yang memiliki ideologi berkarakter keadilan sosial (sila kelima Pancasila) dan memiliki komitmen sebagai negara kesejahteraan (welfare state) yang menitikberatkan pada kepentingan kesejahteraan rakyatnya.

Penerapan demokrasi Pancasila diharapkan dapat menyentuh kehidupan dan kesejahteraan (sosial) dimaksud, utamanya mampu memperkecil kesenjangan antara masyarakat kaya dan masyarakat miskin, bukan hanya sebagai kiasan belaka dan menjadi mitos demokrasi.

Demokrasi dianggap sebagai alat untuk menuju kepada pencapaian pertumbuhan, kemudahan akses pendidikan tinggi, mengentaskan kemiskinan, mengurai konflik sosial, menghilangkan gap antara pemerintah dan yang diperintah dan lain sebagainya.

Implementasi demokrasi Pancasila merupakan jalan menuju ke arah keadilan dan kesetaraan. Demokrasi justru akan lebih mempermudah arah menuju tujuan, karena banyaknya akses yang akan terbuka untuk menuju pencapaian itu, dan hanya bisa dilalui melalui jalan demokrasi yang baik.

Jika banyak ketimpangan sosial, keadilan sosial dan kesejahteraan sosial tidak mencapai wujudnya, itu sebagai dampak tindakan politik pemerintahan yang tidak membuka akses terhadap demokrasi.

Untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan sosial maka jawabannya adalah demokrasi, dan dalam konteks Indonesia adalah demokrasi Pancasila.

Harus dipastikan pilihan demokrasi Pancasila adalah tepat untuk menuju negara kesejahteraan yang dicita-citakan dan relevan untuk dapat dipadukan melalui ideologi negara dan peta politik pemerintahan menuju cita-cita tersebut.

Oleh karena itu, ideologi negara dan peta politik pemerintahan idealnya, haruslah memiliki orientasi terhadap kesejahteraan sosial.
Indonesia sejak mencapai kemerdekaan, sudah menjatuhkan pilihannya pada negara demokrasi, serta mengamanatkan kepada pemerintahannya agar benar-benar negara bekerja untuk kesejahteraan sosial rakyatnya.

Reformasi menjadi awal kebangkitan kembali untuk memperjuangkan demokrasi Pancasila.
Demokrasi adalah sebuah langkah perjuangan, dengan berbagai strategi yang harus dibuat, duduk bersama-sama memadukan visi membangun komitmen, agar demokrasi mendapatkan formula yang benar, agar bangsa yang besar ini tak salah langkah.

Demokrasi bukanlah perjalan pintas atau instan, akan tetapi perjalanan yang panjang yang harus dilalui dengan berbagai dinamika, kesabaran dan saling sinergi. Untuk itu dibutuhkan komitmen kuat dan serius oleh semua pihak.


Pemikiran Bung Hatta

Paham kerakyatan yang dulu diperjuangkan oleh Pahlawan Proklamator Bung Hatta dapat dimengerti sebagai sebuah filosofi yang menempatkan rakyat sebagai subjek utama dalam proses pembangunan ekonomi dan politik.

Bagi Bung Hatta, demokrasi bukan hanya soal kebebasan politik, tetapi juga melibatkan keadilan sosial dan ekonomi. Paham kerakyatan menekankan pada tiga prinsip utama mencakup kemandirian ekonomi, keadilan sosial, dan demokrasi ekonomi.

Salah satu inti dari paham kerakyatan Bung Hatta adalah kemandirian ekonomi. Ia percaya bahwa negara yang merdeka harus memiliki ekonomi yang mandiri, tidak tergantung pada kekuatan asing.

Kemandirian ini diwujudkan melalui pengelolaan sumber daya alam oleh negara untuk kepentingan rakyat banyak. Dalam berbagai kesempatan, Bung Hatta menekankan pentingnya koperasi sebagai instrumen untuk mencapai kemandirian ekonomi.

Koperasi, menurut Bung Hatta, adalah bentuk ekonomi yang sesuai dengan budaya gotong royong Indonesia, di mana kesejahteraan bersama menjadi tujuan utama, bukan keuntungan pribadi.

Prinsip keadilan sosial dalam paham kerakyatan Bung Hatta mengacu pada distribusi sumber daya dan kekayaan yang adil di antara seluruh rakyat.

Bung Hatta menolak sistem ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang atau kelompok tertentu, sementara sebagian besar rakyat tetap miskin.

Ia berpendapat bahwa pembangunan ekonomi harus diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, terutama yang miskin dan tertindas.

Oleh karena itu, Bung Hatta sangat mendukung reformasi agraria dan redistribusi tanah sebagai langkah untuk mencapai keadilan sosial.

Demokrasi ekonomi adalah konsep dimana rakyat memiliki kontrol atas sumber daya ekonomi dan ikut serta dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan ekonomi mereka.

Dalam pandangan Bung Hatta, demokrasi politik tidak akan berarti tanpa demokrasi ekonomi. Ini berarti rakyat tidak hanya memiliki hak untuk memilih pemimpin, tetapi juga memiliki hak untuk menentukan arah pembangunan ekonomi, termasuk pengelolaan sumber daya alam dan distribusi kekayaan. Koperasi, lagi-lagi, menjadi sarana untuk mewujudkan demokrasi ekonomi ini.

Berdasarkan refleksi atas gagasan Bung Hatta dan praktik demokrasi Pancasila selama ini, setidaknya ada tiga sebab menurunnya kualitas demokrasi yang harus dihindari sekuat tenaga.

Pertama adalah korupsi dalam arti luas, bukan sekadar mengambil uang. Ini adalah penyalahgunaan kewenangan publik untuk tujuan privat. Jika pemegang kepentingan publik mempunyai kepentingan privat, pribadi dan kelompoknya yang saling berkelindan. Kalau ini terjadi, kita akan mengarah pada penurunan kualitas demokrasi.

Sebab kedua yang tak kalah berbahaya adalah politik uang (money politics). Praktik buruk ini menggerogoti proses demokrasi langsung pada akarnya.

Seharusnya, penyampaian aspirasi rakyat berupa proses penjaringan agar suara rakyat itu tercermin dalam kebijakan publik. Jika ada politik uang, unsur kesejatian suara rakyat akan hilang.

Sedangkan persoalan ketiga yang harus kita waspadai adalah, politisasi birokrasi. Pusat proses kebijakan negara dan pelaksanaannya adalah birokrasi. Jika birokrat turut bermain politik, seluruh bangsa akan berada dalam kesulitan.

Jika ada tarik menarik antara kepentingan politik dan birokrasi, kita akan sangat repot. Ini sebabnya reformasi birokrasi adalah pekerjaan besar yang sangat penting dan harus berhasil.

Dalam pasang surut implementasi demokrasi Pancasila, kiranya paham kerakyatan Bung Hatta tetap relevan dalam konteks Indonesia modern, terutama dalam menghadapi isu ketimpangan sosial dan ekonomi.

Ketimpangan ini masih menjadi masalah serius yang menghambat upaya pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Paham kerakyatan Bung Hatta, dengan penekanannya pada keadilan sosial dan demokrasi ekonomi, dapat menjadi inspirasi dalam mencari solusi terhadap masalah ini.

Nilai-nilai yang terkandung dalam paham kerakyatan Bung Hatta tetap relevan hingga saat ini. Kemandirian ekonomi, keadilan sosial, dan demokrasi ekonomi adalah prinsip-prinsip yang harus terus diperjuangkan dalam menghadapi tantangan globalisasi dan ketimpangan sosial yang semakin kompleks.

Dalam era modern ini, di tengah arus globalisasi dan kapitalisme yang sering kali mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, paham kerakyatan Bung Hatta adalah pengingat bahwa pembangunan ekonomi sejati adalah pembangunan yang berpihak kepada rakyat dan kesejahteraan bersama.


*) Penulis adalah Dosen UCIC, Cirebon.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.