Jakarta (ANTARA) - Indonesia adalah negara dan bangsa yang besar, semua orang sepertinya mengetahui fakta tersebut. Besar dari kekayaan alamnya, besar di berbagai potensi di banyak sektor ekonomi, dan besar dari jumlah penduduk yang juga begitu majemuk.

Penting untuk kembali disoroti, bahwa sumber daya manusia (SDM), sejatinya adalah bentuk kekayaan sebuah bangsa yang paling tinggi nilainya.

Berdasarkan estimasi proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2025 adalah sekitar 284,4 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk diperkirakan sekira 1,11 persen per tahun.

Angka yang begitu besar ini pun turut dibarengi dengan puncak bonus demografi yang terjadi di Indonesia pada rentang tahun 2020-2030.

Bonus demografi terjadi ketika jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) menjadi dominan dalam struktur populasi negara.

Bukan rahasia lagi bahwa bonus ini harus bisa dimanfaatkan dengan baik oleh negara demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui tenaga kerja yang dapat mendongkrak produktivitas.

Namun, apakah peluang itu bisa direngkuh jika berkaca dengan fenomena ketenagakerjaan saat ini di Indonesia?

Tantangan

Masih segar di ingatan tentang puluhan ribu orang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Mulai dari PHK massal di PT Sritex, hingga perusahaan-perusahaan di sektor padat karya, teknologi, hingga ancaman PHK di industri perhotelan.

Ancaman dan PHK yang sudah terjadi ini, tentu berdampak besar pada puluhan ribu jiwa dan keluarga yang mereka hidupi.

Dengan meningkatnya jumlah PHK, maka jumlah pengangguran pun juga bakal naik, dan pada akhirnya berdampak pada daya beli atau konsumsi masyarakat yang menurun.

Dana Moneter Internasional (IMF), sebagaimana dikutip dari World Economic Outlook Edisi April 2025, memprediksi tingkat pengangguran (unemployment rate) di Indonesia bakal mencapai 5 persen pada 2025, atau naik dari angka tahun lalu sebesar 4,9 persen.

Tingkat pengangguran versi IMF tersebut merupakan persentase angkatan kerja yang menganggur ataupun masih mencari pekerjaan.

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli pun tidak menampik hal tersebut. Ia melihat prediksi IMF sebagai masukan atau “alarm” bagi pemerintah untuk terus proaktif mencari solusi yang relevan dan berkelanjutan.

“Yang jelas, yang kita lakukan sekarang adalah kita harus proaktif untuk mengorkestrasi setiap kementerian teknis, kemudian (melihat) peluang-peluang lowongan pekerjaan itu di mana. Dan ini terus kita bahas dalam lingkup rapat koordinasi lintas kementerian,” ujar Yassierli.

Kesempatan yang inklusif

Baru-baru ini pula, ramai pemberitaan tentang bursa kerja (job fair) yang berakhir ricuh, seperti yang terjadi di Cikarang, Bekasi.

Job fair yang digelar pada akhir Mei itu menarik sekitar 25 ribu pekerja, sementara lowongan yang tersedia hanya sekira 2.000-3.000 saja.

Apa yang terjadi di Cikarang, bisa jadi merupakan potret yang sama di daerah-daerah lainnya. Tak hanya pada tahun ini, tapi juga di tahun-tahun sebelumnya.

Tentu ini merupakan pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah, untuk menciptakan lapangan kerja di sektor formal yang laik. Terlebih, Indonesia memiliki potensi angkatan kerja baru yang sangat tinggi pada periode ini.

Untuk itu, pemerintah juga perlu adaptif dalam proses penciptaan lapangan kerja, agar lebih relevan seiring dengan perkembangan zaman.

Hal ini pun sudah mulai dilakukan melalui beberapa upaya, mulai dari Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2023 yang mewajibkan pelaporan lowongan kerja secara terbuka dan transparan melalui platform SIAPkerja, hingga menerbitkan surat edaran terkait larangan diskriminasi dalam proses rekrutmen lowongan kerja.

Investasi SDM

Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berbagai kapasitas harus menjadi perhatian oleh negara. Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai, investasi sumber daya manusia adalah salah satu hal yang paling krusial.

Hal ini mengingat persaingan kerja di era sekarang, utamanya di sektor formal, bukan hanya dengan sesama manusia, tapi juga dengan perkembangan teknologi dan digitalisasi yang begitu cepat.

Guru Besar Universitas Indonesia Rhenald Kasali mengatakan, otomasi hingga penggunaan kecerdasan buatan (AI) bisa saja menggantikan peran manusia dalam melakukan suatu pekerjaan. Bukan hanya karena lebih cepat, tapi juga lebih efisien secara biaya.

Oleh karenanya, penting bagi negara untuk hadir dan meninjau kembali strategi yang tepat dalam menciptakan lapangan pekerjaan seiring dengan akselerasi teknologi digital.

“Sementara, dari sisi manusianya, keterampilan kerja berubah dengan sangat cepat, sehingga dibutuhkan kemampuan adaptasi dengan pekerjaan baru,” kata Rhenald.

Di dunia yang kini berjalan dan berubah dengan sangat dinamis, menuntut manusia di dalamnya untuk terus belajar (life-long learning). Terlebih, generasi muda saat ini juga lebih mencari pekerjaan yang bukan hanya sekadar memberikan sumber nafkah, melainkan memiliki makna (purpose-driven).

Untuk itu, investasi pada keterampilan dan pengetahuan menjadi begitu penting. Diperlukan transformasi besar di berbagai sektor utamanya pendidikan, demi membuat para pencari dan pelaku kerja kita tetap berdaya saing.

Karena pada hakikatnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki manusia yang kompeten dan teredukasi, bukan hanya bergantung dengan mengeruk dalam sumber daya alam yang dimiliki.

Sumber daya alam, pada akhirnya bisa habis. Sementara manusia, terus berjalan, hidup, dan berperan untuk melanjutkan peradaban.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.