Ankeny, Iowa (ANTARA) - Oleh Yang Shilong, Li Xirui, Liu Yanan
Tunas jagung dan kedelai tumbuh setinggi sekitar 5 sentimeter ketika anjing pertanian milik Griffieon, seekor anjing blasteran Labrador hitam bernama Case, berlari melintasi ladang bagaikan hiu hitam yang membelah lautan hijau.
Di Griffieon Family Farm, sebuah peternakan di dekat Ankeny yang telah berdiri selama lebih dari 100 tahun, masa tanam dimulai pada pertengahan April, dengan pembagian untuk lahan jagung dan kedelai yang merata. Setiap hari, Case berpatroli di ladang, berlari di antara barisan tanaman muda sebelum beristirahat sejenak di dekat rumah.
LaVon Griffieon, seorang petani veteran sekaligus pemilik perkebunan, mengatakan bahwa masa tanam dan panen tahun ini harus memperhitungkan tarif dan biaya input yang melonjak.
Setelah Amerika Serikat (AS) dan China bersepakat pada Mei untuk menerapkan jeda selama 90 hari, Griffieon mengaku merasa sedikit lega.
Namun, dengan panen pada Oktober yang jatuh di luar "periode keringanan tarif", prospeknya masih belum jelas.
"Ini menjadi tidak terkendali," katanya merujuk pada kebijakan tarif pemerintahan Trump. Ia menambahkan "Dia memberlakukan, lalu membatalkan, lalu memberlakukan lagi, dan membatalkan lagi. Lalu kita menyeret Meksiko dan Kanada, yang seharusnya menjadi sekutu kita. Tidak ada yang bisa melakukan bisnis dalam kondisi seperti itu."
Dengan sekitar 445 hektare lahan pertanian serta menjalankan bisnis daging langsung ke konsumen, keluarga Griffieon mewakili generasi yang hampir punah dari usaha pertanian keluarga dan memiliki diversifikasi yang masih bertahan hingga kini. Bahkan dengan fleksibilitas tersebut, dia mengakui beberapa tahun terakhir telah membuatnya dan banyak orang lain gelisah.
"Kami berada di titik impas karena kami telah mengalami penurunan selama tiga tahun, dari segi pasar," ujarnya.
Para petani, jelasnya, menghadapi kenaikan biaya input seperti pupuk, bahan bakar, peralatan dan benih. Sementara, mereka tidak memiliki jaminan bahwa pasar akan mendukung hasil panen mereka.
"Jika kita tidak memiliki China sebagai pelanggan, saya ragu harga kedelai kita akan naik dan begitu Anda kehilangan ladang impor itu, orang lain akan mengambilnya," ujarnya.
Di bawah ketidakpastian tarif, keluarga Griffieon mendapati bahwa bertani tidak lagi cukup untuk menghidupi keluarga.
"Peralatan mahal, pupuk mahal, benih mahal. Begitu tarif diberlakukan, harga segala sesuatu langsung naik. Biaya selalu menjadi perhatian utama," kata putri Griffieon, Julia Balbiani.
Ia menyebut bagaimana tarif telah mengganggu rantai pasokan peralatan. "Ada beberapa suku cadang, seperti kabel, ban, sasis, yang pasti berasal dari China. Ketika tarif diberlakukan, produsen menaikkan harga, dan dealer membebankan biaya tersebut kepada kami," ujarnya.
Griffieon mengatakan tarif seharusnya dibahas lebih mendalam di kongres dan berharap pemilu paruh waktu yang akan datang bisa mendorong perubahan kebijakan. "Seseorang harus merasakan tekanan dulu sebelum dia (Trump) mau mengubah pikirannya," tuturnya.
Pewarta: Xinhua
Editor: Benardy Ferdiansyah
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.